Home Novelet Islamik Ketika Senja Berkata Cinta
Ketika Senja Berkata Cinta
Asfahul Muhib
7/4/2020 04:09:11
61,273
Kategori: Novelet
Genre: Islamik
Part 5

"Ayo, Rul!" Zahra mengisyaratkan sahabatnya supaya lebih cepat jalannya.

Hari ini mereka berdua mendapat giliran piket di Ndalem. Selain mereka berdua masih ada lagi 3 orang yaitu Rahma, Ilma dan Isah.

Di Ndalem, Zahra dan Nurul mengerjakan apa saja yang mereka rasa perlu dikerjakan. Hari ini mereka berkutat di dapur. Mereka hendak memasak sesuatu.

"Rul, tau sabit, nggak?" tiba-tiba dari arah pintu ada yang bertanya.

Nurul dan Zahra segera menoleh.

"Oh, Kang Din. Mengagetkan saja. Ada ini, Kang." Zahra mengambilkan sabit itu dan memberikannya kepada Kang Din, karena kebetulan sabit itu terletak didekat Zahra yang tengah duduk memotong-motong daun singkong muda.

"Terima kasih, Zahra." Kang Din hendak segera pergi setelah menerima sabit.

"Mau kemana to, Kang, kok bawa sabit?" Zahra bertanya sambil kembali memotong-motong daun singkong muda yang tinggal sedikit.

"Mau memetik kelapa, Mbak, ikut yuk!" Kang Dien mencandai.

Zahra hanya tersenyum menanggapi guyonan Kang Din.

Setelah daun singkong selesai dipotong-potong, Zahra membawanya ke belakang untuk dicuci di sebelah dapur dekat dengan sumur.

Sementara Nurul tengah asyik mengupas bawang merah untuk bumbu masakannya.

"Rul.." tiba-tiba Kang Din kembali ke dapur.

"Maaf lupa, Rul, ada salam dari Hanif untukmu."

"Hanif ?"

"Itu lo yang ngajari Qiro'at setiap malam Selasa."

"Kang Hanif?" Nurul lalu mendekat.

"Iya."

"Eh, Kang jangan keras-keras ya, lain kali kalau membicarakan masalah seperti ini di tempat khusus saja. Aku malu, untung Zahra lagi mencuci sayuran." Nurul kaget bercampur was-was, takut kalau percakapannya didengar Zahra.

Kang Din kagum pada adiknya yang berbeda dengan wanita biasanya. Padahal kalau perempuan-perempuan biasanya, mereka justru bangga jika ada lelaki yang naksir atau berkirim salam seperti tadi.

Kang Dien mengangguk tanda mengerti.

"Terima kasih, Kang."

"Iya, sama-sama. Maaf, ya." Kang Din lalu pergi.

Nurul menjadi tidak tenang, apa maksudnya? Untung saja Zahra sedang keluar. Nurul begitu takut menyakiti Zahra.

***

Zahra terus menangis. Sudah sejak pukul satu dinihari dia berada di pojok mushola. Disana, Zahra menumpahkan seluruh keluh kesahnya. Beberapa kali sholat sunat ditunaikannya. Zahra ingin menumpahkan segala bebannya kepada Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. Allah lah yang mengizinkan hatinya untuk jatuh cinta, tentu Allah juga yang akan mengizinkan hatinya untuk sembuh dan terbebas dari lara yang menyiksa.

Air matanya terus mengalir, sesenggukan sendirian di haribaan Tuhan yang maha esa.

"Ya Allah, segala puji dan cinta bagimu. Tiada sesuatu apapun yang akan terjadi tanpa izinmu. Bismillah dengan menyebut namamu. Aku mohon ampun atas segala dosa."

Zahra memulai do'anya. Sebagai seorang santri, tentulah Zahra mengerti tentang adab-adab berdo'a. memang semua ada adabnya, ada tatakramanya. Sholat, berdo'a bahkan berbicara tentang ilmu juga ada tatakramanya.

Dan Zahra begitu menjaga tatakrama itu tidak hanya kepada sesama manusia, tapi juga kepada Allah yang Esa. Dia takut tergolong dengan apa yang telah banyak disebut para ulama.

"Laizal Adab Ka dubab berarti yang tidak bertatakrama itu seperti lalat."

"Allahumma Nawwir Qolbi"

"Allahumma Nawwir Qolbi"

Zahra terus mengulang-ulang do'a itu tanpa sanggup melanjutkannya. Air matanya terus meleleh, bibirnya bergetar dan badannya menggigil.

"Allahumma Nawwir Qolby binuri hidayatika Ya Robb.."

"Walhamdulillahirabbil 'alamin."

Zahra terisak-isak mengakhiri do'anya.

"Kenapa begitu sulit mengatur hati?" rintihnya.

Zahra masih saja mengingat kejadian tadi siang, sewaktu dia di dapur ndalem, Sewaktu Zahra selesai mencuci daun singkong muda dan hendak masuk kedapur, dengan jelas Zahra mendengar Kang Din menyebut nama Kang Hanif berkirim salam. Alangkah bahagianya andaikan salam itu tertuju padanya, alangkah bahagianya andai Kang Din tadi siang memanggilnya.

"Zahra, ada salam dari Hanif!!"

Andaikan kalimatnya seperti itu, Zahra mungkin sekarang menjadi orang yang paling bahagia di dunia.

Sewaktu Kang Din menyampaikan salam, Zahra ada dibalik pintu kayu, pintu belakang dapur. Baik Nurul atau Kang Din tidak bisa melihat Zahra meski mereka sangat dekat. Zahra mendengar hampir semua percakapan mereka. Sebenarnya dia tidak mau menjadi orang yang suka mengorek rahasia orang lain. Tapi ada kata 'Hanif', yang membuatnya mematung dibalik pintu dan mendengarkan, tak sengaja-sungguh tak sengaja pada awalnya.

Hati Zahra begitu sakit, dia begitu cemburu kepada Nurul, Sahabat karibnya. Ingin sekali dia membenci Nurul, tapi apa salah Nurul?

Zahra kembali terisak-isak, memutar tasbihnya kembali dan mensucikan nama Rabnya.

Sebenarnya Zahra ingin membicarakan masalah ini dengan Nurul sehabis Takror tadi, ketika semua kegiatan sudah selesai. Toh Nurul yang dapat salam, belum tentu Nurul menyukai Kang Hanif. Tidak ada alasan untuk sakit hati. Apalagi sebagian dari prasangka itu dosa.

Namun Sore tadi, ketika hendak mandi. Sabun mandi Nurul habis, kemudian dia pergi ke koperasi pondok untuk membeli sabun. Saat itulah tak sengaja Zahra membuka-buka diary Nurul.

Pada dua halaman sebelum terakhir Zahra menjumpai sebuah puisi tentang jalan lurus.

Puisi itu menceritakan seolah-olah Nurul merindukan jalan lurus. Memanganya jalan Nurul sekarang tidak lurus? Fikir Zahra sore tadi. Ada kata-kata Jalan lurus itu akan diberikan sahabatnya. Ah Nurul ada-ada saja. Memanglah Nurul ahli merangkai bahasa, pasti ada makna tersirat dibalik jalan lurus ini.

Zahra berencana menanyakannya kepada Nurul seusai mandi.

Kemudian dia membalik halaman, tertulis lafadz Bismillahirrohmanirrohim di baris paling atas dan di bawahnya ada arti dari Bismillah itu.

Seketika Zahra mengingat bahwa jalan lurus adalah arti dari kata "Hanif".

Zahra kembali membuka halaman yang tadi, membacanya dengan seksama.

Hatinya gerimis, mengerti makna dari puisi jalan lurus itu, yang dimaksud jalan lurus oleh Nurul adalah Kang Hanif, Zahra begitu yakin.

Mukena bagian bawah dagu Zahra sudah basah oleh air mata. Tubuhnya lemas mengingat itu semua. Nurul adalah sahabatnya yang terbaik, meski dia sangat mencintai Kang Hanif seperti yang dituliskan dalam puisinya. Nurul akan mencari yang lain, dan itu karena Zahra.

"Ya Allah apa aku begitu kejam?" fikiran Zahra berkecamuk, Zahra kembali berdo'a supaya diberi ketenangan hatinya, Zahra terus memohon dan memohon kepada Allah sebuah ketenangan, bibirnya terus bertasbih, hingga akhirnya Zahra tidak merasakan apapun.

***

Zahra merasa ada yang memijat kakinya dengan lembut. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, rasanya seperti bangun dari tidur. Dia melihat langit-langit berwarna putih. Di sekelilingnya pun dilihatnya kelambu berwarna putih. Zahra mulai menyadari dimana dirinya berada. Tubuhnya terasa lemas sekali, rasanya seperti puasa sehari semalam. Sama sekali tidak bertenaga.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ra . . ."

Zahra mencoba menoleh ke arah Nurul yang duduk di dekat kakinya, ternyata yang memijitnya dari tadi adalah Nurul. Tampak Nurul tersenyum, seakan hendak menyampaikan pesan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Kamu tadi pingsan di mushola. Kebetulan dini hari tadi aku yang pertama masuk mushola hendak sholat tahajjud. Waktu kunyalakan lampu, kulihat kamu tidur. Hanya posisi tidurmu yang agak aneh. Kamu terlentang agak miring sambil memegang tasbih. Ketika aku bangunkan, kamu tidak bangun-bangun. Eh ternyata kamu pingsan. Lalu aku mencoba membopongmu tapi tidak kuat. Kamu gemuk juga, ya?" Nurul menceritakan kejadian semalam tanpa ditanya.

"Terima kasih, Rul, lalu bagaimana?

"Lalu aku panggil mbak-mbak pengurus, kita bersama-sama membopong kamu ke kantor. Mbak Nudia mencoba menyadarkanmu, sementara Mbak Khusnul menelepon keluargamu. Ibumu langsung meminta agar kamu dibawa ke rumah sakit ini." Nurul menceritakannya dengan runut.

Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang, Bpk. Mahali dan Ibu Shofiyah. Nurul langsung sungkem bersalaman dengan keduanya. Nurul sudah sangat akrab dengan beliau berdua. Hampir setiap liburan pondok atau Hari raya Nurul selalu berkunjung ke rumah Zahra dan begitu juga sebaliknya.

"Terima kasih, Rul, sudah menjaga Zahra." dengan senyum mengembang di bibirnya, Ibu Shofiyah berterima kasih.

"Iya, Bu, sama-sama. Sudah menjadi kewajiban saya. Sebenarnya tadi malam ada beberapa teman yang ikut, tapi mereka sudah pulang ketika adzan subuh berkumandang tadi."

"Jadi kamu sendirian menunggu Zahra?"

"Iya, tapi baru sejak adzan subuh tadi. Oh, iya, saya pamit dulu ke mushola, belum sholat subuh."

"Silahkan, Rul, biar Ibu sama Bapak yang jaga."

Nurul pun segera beranjak ke mushola untuk melakukan sholat subuh. Sudah hampir jam 5 pagi, adzan subuh sudah berkumandang pukul 04.15 tadi. Nurul mempercepat langkahnya agar segera sampai di mushola. Cuma butuh sekitar dua menit untuk sampai ke mushola yang berada di barat tempat parkir itu. Tempat parkir tidak terlalu jauh dengan ruangan yang ditempati Zahra.

Nurul sudah cukup hafal dengan denah rumah sakit ini, Rumah Sakit Al-Huda Genteng. Dulu keluarga Nurul pernah ada yang dirawat disini untuk beberapa waktu. Dan saat itu dia menunggu keluarganya itu sampai sembuh. Sejak saat itulah dia mulai faham dengan denah rumah sakit ini.


Previous: Part 4
Next: Part 6

Portal Ilham tidak akan bertanggungjawab di atas setiap komen yang diutarakan di laman sosial ini. Ianya adalah pandangan peribadi dari pemilik akaun dan ianya tiada kaitan dengan pihak Portal Ilham.

Portal Ilham berhak untuk memadamkan komen yang dirasakan kurang sesuai atau bersifat perkauman yang boleh mendatangkan salah faham atau perbalahan dari pembaca lain. Komen yang melanggar terma dan syarat yang ditetapkan juga akan dipadam.

Karya lain oleh Asfahul Muhib