Dini hari ini, kota Kudus menutupi dirinya dengan selimut dingin. Udara yang berhembus perlahan pun serasa sanggup menembus kulit dan merasuk menyerang sumsum tulang.
Sinar rembulan yang sampai ke bumi menambah romansa dingin yang mengilukan. Menenangkan beberapa orang yang sedang duduk di warung kopi pinggir jalan menikmati susana malam kota kretek ini.
Kota yang senantiasa memberi sambutan ramah kepada para tamu pencari ilmu, kota santri yang seolah sadar dirinya telah berperan menjadi salah satu sejarah terbentuknya peradaban islam di ibu pertiwi.
Di sebuah pesantren di sudut kota, seorang santri yang baru saja selesai mandi tengah membetulkan letak kerah bajunya, sambil menyisir rambutnya yang masih agak basah dia melirik jam dinding di atas pintu kamarnya, sudah pukul 03.00 pagi.
Dia segera mengambil kitabnya lalu keluar dari kamar terus menuju pintu gerbang pesantren. Tujuannya adalah Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, yang terletak sekitar Dua ratus Meter arah selatan dari pesantrennya, Masjid dimana Kangjeng Sunan Kudus dimakamkan di sebelah baratnya.
Udara dingin dini hari langsung menyerang. Andaikan azzam di dalam dadanya tidak kuat, pasti dia sudah memilih beristirahat di dalam kamar memakai selimut tebal yang dibawanya ketika baru berangkat ke Kudus beberapa tahun lalu.
Tentunya istirahat dan tidur lebih nikmat daripada kedinginan seperti saat ini, toh mengikuti pengajian rutin Tafsir Jalalain oleh KH Sya'roni, Setiap Jum'at pagi sesudah jama'ah subuh di Masjid Al-Aqsha menara Kudus tidak wajib hukumnya. Tapi inilah perjuangan, Dia selalu ingat tujuannya datang ke Kudus adalah untuk mencari ilmu, dan datang ke pengajian ini pun untuk mencari ilmu.
Di malam hari, Kudus memang akan diselimuti udara dingin, berbeda dengan siang hari yang panasnya bisa tiga kali lipat dari panasnya kota asal pemuda ini, Banyuwangi. Waktu awal-awal datang ke Kudus dulu, Dia begitu kepanasan sehingga menjadi orang yang sangat rajin mandi disiang hari..
Dalam udara dingin, Hanif mempercepat langkahnya, Jalanan masih begitu sepi, biasanya orang-orang akan datang ke pengajian sesudah sholat subuh, atau setelah memasuki waktu subuh yakni ketika fajar shodiq terbit.
Hanif sengaja datang lebih awal, bahkan sangat awal karena ingin menunaikan tahajjud dan witir di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Masjid yang dalam sejarah, adalah masjid tempat ibadahnya seorang Waliyullah, Kangjeng Sunan Kudus di zaman penyebaran islam di tanah jawa dulu.
Hanif hanya ingin memperbanyak saksi atas ibadahnya, Hanif berharap Masjid Al-Aqsha juga menjadi saksi atas sujudnya di akhirat kelak, udara dingin yang menyerangnya juga menjadi saksi atas azamnya dan usahanya melangkahkan kaki mencari ilmu dini hari ini.
Dalam hati dia berharap semoga setiap langkahnya dalam mencari ilmu memudahkan langkahnya menuju surga sesuai dengan Hadist Nabi.
"Man salaka thoriqon yaltamisu fihi 'ilman, sahhalallahu lahu bihi thoriqon ilal jannah"
"Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka dengan itu Allah memudahkan baginya jalan menuju surga (HR Muslim, Abu daud, Tirmidzi dll.)"
Tak terasa Hanif sudah hampir sampai di masjid yang dituju, tinggal beberapa meter lagi, dia baru saja melewati toko buku koperasi sebuah pesantren.
Kemudian melewati sebuah rumah besar berpagar yang di depannya ada sebuah ruko yang menjual aneka makanan dan Jenang kudus. Nama pemiliknya Pak Yaqub. Dulu beliau pernah mengundangnya untuk Qiro'at waktu acara reuni keluarga.
Dia tersenyum sendiri ingat beberapa hari setelah Qiro'at dipanggil lagi oleh Pak Yaqub kerumahnya, setelah berbasa-basi Pak Yaqub mengutarakan maksudnya hendak menjodohkan putrinya yang bernama Baroroh.
Dengan berterus terang Pak Yaqub bilang tertarik dan kagum dengan suara dan bacaan Qiro'at Hanif. Lalu Pak Yaqub berniat mengambilnya sebagai mantu. Bahkan Pak Yaqub bersedia meski dia dan Baroroh hanya Nikah sirri pada awalnya, jika nanti belajarnya di pesantren sudah selesai, barulah acara resepsi dan lain-lain akan diadakan.
Hanif sempat bingung, Baroroh putri Pak Yaqub bukanlah gadis sembarangan, cantiknya terkenal sampai di kalangan para santri putra di pesantrenya, Pesantren Yanbu'ul Qur'an.
Dinilai dari empat unsur seperti sabda Nabi "Tunkahul mar^atu limaliha wajamaliha wahasabiha wadiniha, fa'alaika bidzatid dini taribat yadaaka"
"Wanita itu dikawini karena hartanya, kecantikannya, keturunannya (kemuliaan keluarganya) dan karena kekuatan agamanya, maka pilihlah wanita yang kuat agamanya agar engkau berbahagia dalam hidupmu (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah)."
Baroroh sudah jelas memenuhi kriteria, Kaya raya iya, diceritakan Baroroh memiliki tanah berupa kebun sawit beberapa hektar di Kalimantan, dan itu atas namanya sendiri. Cantiknya luar biasa. Nasabnya juga terlihat baik, Pak Yaqub sendiri terkenal sangat dermawan di sekitar Kudus. Sementara untuk kekuatan agamanya Hanif masih belum benar-benar faham, yang Hanif tahu Baroroh sudah lama di rumah membantu ayahnya berdagang di depan rumahnya.
Tapi kalau dari cara berpakaiannya, Baroroh menunjukkan kalau jiwanya benar-benar muslimah.
Namun Hanif bertekad untuk bersabar menunggu gadis sedehana yag sudah ada dalam hatinya, gadis yang dulu pernah menolak maksud suratnya.
Hanif terus berjalan, sampai di gapura masjid dia berjalan masuk menuju selatan masjid untuk berwudhu, lurus dengan letak menara yang ada di depan bagian selatan masjid. Kemudian dia masuk ke dalam masjid dan mendirikan empat rakaat sholat tahajjud dan dilanjutkan dengan tiga rakaat witir.
Sepertiga malam ini terasa syahdu buat Hanif. Beribadah di tanah para wali, tempat orang-orang shalih yang telah menemui derajat ma'rifatullah.
Dalam dengungan do'anya Hanif memohon diselamatkan agamanya, diberikan ilmu yang bermanfaat yang bisa meningkatkan takwanya, tak lupa Hanif menyebut-nyebut nama Ibunya, Ayahnya dan sahabat-sahabatnya. Juga orang-orang yang dikasihinya, Nurul, Zahra, Kang dien dan semua keluarganya di pesantren Darul Manan, Tegalsari.
Hanif memintakan Rahmat untuk semua yang dia kenal.
Dia selalu ingat bahwa "Barang siapa yang mendoakan baik kepada orang lain, niscaya para malaikat yang ada di langit mendo'akan kepadanya dengan hal yang serupa."
Hanif memperpanjang do'anya, dia ingin malaikat-malaikat yang ada di langit mendoakan kebaikan untuknya.
Fajar Shodiq akhirnya terbit menggantikan Fajar Kadzib yang beberapa kali telah muncul. Adzan subuh pun dikumandangkan, orang-orang yang hendak ikut pengajian rutin Tafsir Jalalain berdatangan turut serta sekalian berjamaah sholat subuh di Masjid Al-Aqsha Menara.
Jum'at pagi memang istimewa untuk wilayah Kudus dan sekitarnya, untuk para santri, untuk orang-orang yang peduli dengan akhirat dan peduli dengan ilmu agama.
Setelah iqomat dikumandangkan, jama'ah sholat subuh pun didirikan. Hanif mengambil shof paling depan di belakang imam. Jamaah didalam masjid begitu penuh. Inilah keistimewaan yang dirasakan Hanif ketika berjamaah di masjid ini, jamaahnya begitu banyak, ruangan dalam masjid pun tidak ada kelonggaran, serasa punya saudara berlimpah, seiman satu tujuan. Almuslimu akhul muslim.
Sholat berlangsung begitu khidmat, bacaan imam yang fasih membuat beberapa makmum tertegun menikmati ibadahnya. Hanif pun merasakan damai luar biasa, kenikmatan beribadah adalah satu-satunya kenikmatan surga yang diturunkan ke dunia, dan hanya orang-orang tertentu yang merasakannya.
Pada Rakaat kedua Imam melakukan sujud sebelum ruku' yang diikuti oleh semua makmumnya, yakni ketika Imam membaca surat yang di dalamnya ada ayat yang ada perintah sujud atau ruku', orang-orang biasa menyebut ayat ini dengan ayat sajadah, karena di Al-Qur'an di pinggirnya akan tertulis "sajadah" ketika menjumpai ayat ini. Inilah yang dinamakan Sujud Tilawah, sujud karena bacaan.
Setelah sholat dan wiridan selesai, pengajian tafsir segera dimulai, Hanif mengambil duduk bersandar tiang masjid dekat dengan Kyai Sya'roni yang telah siap dengan kitabnya.
Sudah sampai surat Maryam, Hanif menyimak dengan seksama keterangan Kyai Sya'roni. Beliau menerangkan bahwa dalam surat Maryam terdapat sepuluh manaqib nabi-nabi. Manaqib bermakna riwayat hidup. Dalam tata bahasa arab Manaqib merupakan bentuk Jamak taksir Sighat Muntaha al jumu', maka berarti Manaqib adalah Isim Ghoiru Munshorif, isim yang tidak menerima tanwin, isim yang paling sulit difahami para santri sepanjang perjalanan belajar Imriti.
Kalau menyimak cara menerangkan dan menjabarkan suatu ayat, Hanif berpendapat bahwa Kyai Sya'roni merupakan sosok kyai yang Linuwih, Kyai yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu, baik dari ilmu alat, nahwu, shorof, sirah nabawiyah, ilmu tafsir, dan ilmu baca Al-Qur'an yakni Tajwid, Ghorib wa Musykilat serta qiraah sab'ahnya yang terpadu indah dalam keterangannya.
Dari keterangan Kyai Sya'roni lah Hanif tau bahwa nama Isroil atau Israel berasal dari bahasa Suryani, Isra berarti 'abdun atau hamba dan Il berarti Allah, jadi arti kata Israel adalah Hamba Allah.
Kekaguman Hanif terhadap keilmuan Kyai Sya'roni yang mendalam begitu menancap di dadanya, sehingga niatnya menimba ilmu sebanyak-banyaknya di Kudus semakin kuat. Pulang ke Banyuwangi harus sudah mumpuni, minimal bisa seperti Kyai Sya'roni.
***
"Santri mana, kang?"
Hanif terkejut dan langsung menoleh,seorang lelaki tua tiba-tiba duduk di sampingnya yang sedang santai menikmati udara pagi selepas pengajian.
"Yanbu'ul Qur'an, Pak, Bapak asli mana?" Hanif balik bertanya.
"Saya asli Demak, kenalkan namaku Khudhori, sudah sekitar 7 kali pengajian ini aku melihatmu selalu hadir, dan kau selalu berjamaah di shof paling depan, aku suka dengan anak muda sepertimu." Lelaki tua itu mengenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan.
"Oh, nama saya Hanif Kholilullah, saya asli Banyuwangi, Jawa timur, Pak."
Hanif menjabat tangan lelaki tua yang mengenalkan diri bernama Pak Khudhori itu dengan ta'dhim. Pendidikan di pesantren telah menyatu dalam dirinya, pendidikan tentang akhlak, yang muda harus menghormati yang tua.
"Sepertinya kau sudah lama nyantri?"
"Belum, pak, baru beberapa waktu lalu saya datang ke Kudus sini."
Pak Khudhori manggut-manggut terlihat mengerti kalau jarang bahkan tidak akan ada santri yang mengatakan sudah lama di pesantren. Meski sudah menjadi santri puluhan tahun, santri itu akan tetap bilang kalau datang ke pesantren baru kemarin, atau baru beberapa waktu lalu, karena memang semakin belajar, santri itu akan semakin merasa bodoh, merasa tidak tau apa-apa.
"Kau Hafalan Qur'an? Rata-rata santri luar daerah yang datang ke Kudus ini untuk hafalan Qur'an."
"Njih, Pak. Tapi belum lancar."
Hanif mulai menyadari bahwa lawan bicaranya juga seorang yang faham tentang kehidupan santri.
Pak Khudhori tersenyum, mengerti dan faham bahwa makna kata "Belum lancar" adalah berarti Hanif sudah selesai menghafal Al-Qur'an tetapi tinggal melancarkan atau membuatnya hafal di luar kepala.
"Kalau sudah hafal, kau ingin mempelajari apa lagi?"
"Tafsir dan Qiro'ah sab'ah."
Dengan mantap Hanif menjawab karena memang azam di dalam dadanya sedang menggelora dan berkobar.
"Kau yakin? Tidak menyesal nanti?"
Pak Khudhori bertanya sambil tertawa kecil memperlihatkan deretan giginya yang masih tertata rapi
"Maksudnya, Pak?"
Hanif merasa bingung dengan pertanyaan Pak Khudhori, kenapa harus menyesal mempelajari Tafsir dan Qiro'ah sab'ah.
"Hehehe, faham dengan tafsir Al-Qur'an itu tidak enak lo, Kang?"
"Lo kok bisa, Pak??" Hanif semakin tidak mengerti
"Kalau kau faham, nanti ketika kau membaca Al-Qur'an pasti kau akan banyak tersindir, yaa asal jangan tersinggung saja."
"Oh, iya ya, Pak, waduhh... Padahal ngaji tafsir yang dibacakan Kyai Sya'roni saja saya sering tersindir."
Hanif sekarang faham maksud Pak Khudhori, ternyata Pak Khudhori bukan orang sembarangan, dari tampang dan pakaiannya yang sederhana, ternyata apa yang keluar dari bibirnya berupa hikmah.
Memang kadang-kadang ketika membaca ayat-ayat yang menerangkan tentang ciri-ciri orang munafiq, seseorang merasa kenapa justru ayat itu seperti menerangkan dirinya, menelanjangi semua tingkah polahnya.
"Ya sudah, Kang, saya pulang dulu, besok kalau ketemu ngobrol-ngobrol lagi, oh iya saya ini juga alumni Yanbu'ul Qur'an loo, Assalamu'alaikum."
Sambil berlalu Pak Khudhori mengucapkan salam, menyincing sarungnya untuk menuruni anak tangga Masjid Al-Aqsha.
"Wa'alaikumussalam warohmatullah, terimakasih, Pak"
Hanif memandang Pak Khudori kagum, begitulah seharusnya orang berilmu, semakin sederhana, semakin bertakwa. Padi semakin tua semakin merunduk, ternyata ada orang yang patut diistilahkan dengan peribahasa itu.
Hari semakin siang, Matahari semakin meninggi,Hanif segera berkemas hendak kembali ke pesantren. Hanif ingin segera mengambilhandphonenya lalu menghubungi Kang Din, menanyakan kabar Nurul dan Zahra. Agarterobati rindunya. Hanif juga ingin mengabarkan bahwa Baroroh yang cantikjelita tidak jadi menikah dengannya, tidak ada pernikahan, tidak ada nikah sirri.