Home Novelet Islamik Ketika Senja Berkata Cinta
Ketika Senja Berkata Cinta
Asfahul Muhib
7/4/2020 04:09:11
52,089
Kategori: Novelet
Genre: Islamik
Part 13

Nurul meminta maaf, andai dia menepati janjinya menunggu di depan. Tentu Ibu Shofiyah tidak perlu bertanya-tanya pada petugas jaga RS tentang keberadaan suaminya, Bapak Mahali yang menjadi korban kecelakaan.

"Bagaimana keadaan Zahra, Rul?" Suara Ibu Shofiyah begitu lirih ketika bertanya pada Nurul.

"Sudah mulai membaik, Bu, tadi Zahra menanyakan ayahnya dan Ibu."

Ibu Shofiyah tidak merespon jawaban Nurul. Pandangannya kosong. Mungkin memang begitu berat beban yang dipikul. Pelan-pelan istri Pak Mahali itu mengambil sebuah tisu dari dalam tas yang sejak tadi ada dipangkunya. Kemudian dengan tisu itu Ibu Shofiyah menyeka air mata yang mulai merembes di sudut matanya.

"Sabar ya, Bu, Nurul siap membantu apapun sebisa Nurul."

"Iya, nak, terimakasih. Alhamdulillah untung ada kamu, Zahra jadi ada temannya."

Meski sedang sangat bersedih, Ibu Shofiyah berusaha untuk tetap tenang dan tegar. Kesedihan yang mengiris hatinya disembunyikan dalam-dalam di balik tutur katanya. Meski usahanya tidak sepenuhnya berhasil, tapi sudah cukup membuat Nurul kagum dengan kepribadiannya.

Masih ada kata Alhamdulillah yang terucap dari seorang wanita yang sedang ditimpa ujian yang mendera.

Ibu Shofiyah meminta Nurul untuk mengantarkannya ke ruangan di mana Zahra dirawat. Dia berpesan agar Nurul tidak menceritakan dulu kepada Zahra apa yang terjadi, dengan harapan Zahra segera membaik tanpa ada tekanan.

Nurul mengangguk tanda mengerti. Lalu keduanya meninggalkan Bapak Mahali yang sedang tidak sadar sendirian di ruangannya.

Zahra yang sedang tergeletak lemas berusaha bangun dan duduk ketika Ibunya datang, sambil mengucapkan salam Zahra segera meraih tangan kanan ibunya dan mengecupnya.

Zahra tersenyum dan membuang wajah sedihnya, berusaha agar sakitnya tidak terlalu menjadi beban buat wanita yang sangat dicintainya. Wanita yang membawa surganya di telapak kakinya. Wanita, yang ridho dan murka Allah Tuhan semesta alam menggantung padanya. Wanita, yang di dalam dadanya sudah tersedia selaksa maaf untuk kesalahan-kesalahan yang meski belum pernah dilakukan Zahra. Wanita, yang kasihnya kepada Zahra tak terhingga sepanjang masa.

"Ayah tidak kesini, Bu?"

Spontanitas yang keluar dari bibir Zahra adalah sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang langsung meresap kedalam relung hati Ibu Shofiyah.

"Ayah pasti kesini, kamu cepat sembuh ya, latihan yang kuat seperti Nurul ini, lo." Ibu Shofiyah tersenyum tipis sambil menunjuk Nurul yang juga ikut duduk di sebelahnya.

"Zahra kangen sama ayah. Oh iya, Bu, Zahra dan Nurul ini belum makan lo sejak tadi siang, kami baru makan tadi pagi di pesantren."

"Lo kenapa tidak beli, apa kantinya tutup?"

"Tidak Bu, saya tidak membawa uang, terus dompet Nurul juga ketinggalan di pesantren." Zahra menjelaskan.

"Ya Allah, kamu kok ya diam saja to, Rul, ini segera beli makanan di kantin belakang itu. Jangan lupa minumnya, camilannya juga" Dengan cepat Ibu Shofiyah mengambil uang seratus ribuan dari tasnya dan mengulurkannya pada Nurul. Nurul pun segera beranjak ke kantin belakang di sebelah timur.

Akhirnya rasa lapar itu terobati juga setelah Nurul kembali dengan makanan di tangannya. Mereka bertiga makan bersama. Makan di waktu lapar memang sungguh nikmat, apalagi bersama dengan orang-orang tercinta. Andai saja ada Bapak Mahali juga ikut serta, pasti makin lengkap kebahagiaan Zahra meskipun hanyalah nasi bungkus menunya.

Malam terus beranjak semakin larut, udara dingin merayap dan turun ke bumi, RS Al-Huda pun semakin dingin, sedingin perjalanan hidup Zahra yang semakin rumit.

Zahra telah tertidur pulas di atas ranjangnya, sementara Ibu Shofiyah berpindah menggelar tikar di depan ruangan dimana Bapak Mahali dirawat. Tikar itu sengaja dibawa dari rumah karena memang sudah berniat akan bermalam di Rumah sakit.

Ibu Shofiyah sudah pasrah, akal dan fikirannya sudah buntu tiada titik temu selain sabar dan tawakkal, harapannya hanyalah takdir yang terbaik, terbaik untuk suami dan anaknya dan tentu dirinya.

"Sudah, Mbak Yu, sampeyan tidur dulu saja, biar aku yang jaga. Sampeyan tadi kan juga habis lembur, dijaga kesehatannya, kang Mahali dan Zahra sudah sakit, apa sampeyan tidak kasihan kepada Nurul teman Zahra itu kalau sampeyan juga ikut sakit seperti mereka?" Ibu Har adik keponakan Bapak Mahali yang baru datang menjenguk mencoba menasehati Ibu Shofiyah.

Ibu Shofiyah lalu merebahkan tubuhnya, menuruti rasa letih yang sejak tadi meraung-raung di jasadnya.

"Aturnuhun ya, De' Har, aku ta' istirahat dulu, nanti bangunin kalau ada apa-apa."

"Iya, Mbak Yu."

***

Sementara itu Nurul tengah berada di depan Musholla yang sepi, memang sudah lazimnya pada dini hari seperti ini orang-orang sedang menikmati tidurnya, sehingga suasana di sekitar RS begitu lengang, termasuk Mushollanya. Suasana seperti ini yang justru ditunggu oleh Nurul.

"Ah, susahnya orang istihadhoh, mau sholat saja harus nunggu sepi dulu!" Sambil bergumam sendiri, Nurul melangkahkan kakinya ke kamar kecil di selatan Musholla.

Nurul hendak melaksanakan 4 perkara yang harus dilakukan oleh orang yang istihadhoh sebelum melakukan sholat atau ibadah yang lain, dan Nurul merasa kurang nyaman jika harus melakukan 4 perkara yang intinya bersuci itu ketika ramai orang. Sehingga untuk sholat isya' Nurul harus menunggu dini hari.

Selain sholat, Nurul hendak membaca Al-Qur'an, kebiasaannya membaca Al-Qur'an minimal 1 juz dalam sehari tidak bisa dia teinggalkan begitu saja. Nurul tidak mau melanggar keistiqomahannya dengan alasan apapun, selama tidak dhorurot, Nurul akan tetap berusaha menjaga kebiasaanya itu.

Bisyiqqil anfus, meski dengan usaha yang teramat sangat payah.

Udara begitu dingin, Nurul segera memakai mukena agar tubuhnya sedikit terasa hangat. Tangan Nurul sudah bergetar sejak tadi karena air wudhu yang sangat dingin, namun dingin bukanlah alasan untuk meninggalkan sholat.

Amal sholatlah yang akan dihisab untuk pertama kalinya suatu saat. Hanya ada satu alasan yang membolehkan meninggalkan sholat bagi seorang muslim yang berakal, yaitu mati.

Setelah selesai sholat dan membaca Al-Qur'an Nurul menengok Zahra di ruangannya, mengetahui Zahra tertidur pulas Nurul berniat ke ruangan Bapak Mahali, namun sesampai di depan ruangan, Nurul mendapati Ibu Shofiyah menangis.

"Kenapa, Bu?"

Ibu Shofiyah tidak menjawab, Nurul segera menengok keadaan Bapak Mahali di dalam, namun Nurul mendapati ranjang yang biasa dipakai Bapak Mahali sudah kosong. Hanya masih ada sisa infus yang terlihat belum dibereskan.

Previous: Part 12
Next: Part 14

Portal Ilham tidak akan bertanggungjawab di atas setiap komen yang diutarakan di laman sosial ini. Ianya adalah pandangan peribadi dari pemilik akaun dan ianya tiada kaitan dengan pihak Portal Ilham.

Portal Ilham berhak untuk memadamkan komen yang dirasakan kurang sesuai atau bersifat perkauman yang boleh mendatangkan salah faham atau perbalahan dari pembaca lain. Komen yang melanggar terma dan syarat yang ditetapkan juga akan dipadam.

Karya lain oleh Asfahul Muhib