Home Novelet Islamik Ketika Senja Berkata Cinta
Ketika Senja Berkata Cinta
Asfahul Muhib
7/4/2020 04:09:11
61,263
Kategori: Novelet
Genre: Islamik
Part 11

"Semoga Kang Hanif kerasan ya, Rul, di sana?" Zahra membuka suara, merespon surat yang baru saja dibaca.

"Iya, aminn, dan semoga berhasil ilmunya."

Di dalam suratnya, Hanif bercerita bahwa sekitar 2 minggu kedepan dia akan "Boyong" dan pindah ke Pondok Al-Qur'an di Kudus. Hanif meminta maaf sebanyak-banyaknya atas semua kesalahan. Hanif juga mendo'akan Nurul dan Zahra yang sudah dianggap sebagai saudaranya. Hanif menasihatkan niat harus ditata. Tidak boleh mencari ilmu dengan niat mencari kedudukan apalagi niat mempermudah mencari harta. Sebaiknya diniatkan untuk menghilangkan kebodohan. Bukan mencari kepintaran. Karena kadang-kadang orang pintar itu masih bodoh dengan kepintarannya.

Meski Nurul dan Zahra tidak memahami secara total isi dari surat Hanif, tapi mereka bisa mengambil pelajaran-pelajaran yang di tulis Hanif di dalamnya.

Setelah lampu dimatikan, mereka berdua mencoba memejamkan mata. Mereka bercakap-cakap sambil menunggu rasa kantuk menyerang dan mematikan kesadaran mereka.

Dalam kegelapan, Zahra menitikkan air mata mengingat nasib cintanya. Pujaan hatinya hendak pergi dari pesantren untuk nyantri ke Kudus, Jawa Tengah. Artinya, Kang Hanif akan semakin menjauh. Kapan akan bertemu lagi? Apakah masih ada kesempatan bersua sekedar menggugurkan kerinduan yang fana menyiksa?

Dalam hati Zahra masih berharap, semoga suatu hari ada kesempatan baginya untuk menyampaikan rasa rindunya.

Sementara Nurul yang terbaring di samping Zahra. Setelah melafalkan do'a hendak tidur. Matanya terpejam. Namun pikirannya masih mengingat kata-kata Kang Din waktu mengantar surat Kang Hanif ke rumahnya beberapa waktu lalu.

"Kang Hanif itu cinta sekali dengan Al-Qur'an. Sehingga dia belajar Qiro'at. Sebenarnya dia masih ingin menghafal Al-Qur'an dan mempelajari Qira'ah sab'ah yakni membaca Al-Qur'an riwayat 7 Imam.

Tapi niatnya itu maju mundur. Namun setelah melihat kamu, dia memutuskan untuk menikah."

Antara sadar dan tidak sadar Nurul berdo'a semoga Kang Hanif ke Kudus akan berhasil dan niatnya yang dulu masih maju mundur bisa berubah menjadi mantap dan yakin.

***

Di pondok Darul Manan Putra, Hanif terus bertasbih. Memantapkan hatinya, meyakinkan niatnya. Ke Kudus untuk menghafal Al-Qur'an. Dan berharap semoga juga berkesempatan mempelajari Qiro'ah Sab'ah dan Tafsir.

Keluarga sudah menyetujui, Romo Kiai Shidiq juga sudah meridhoi, tinggal menunggu hari. Hanif berniat selama belajar di Kudus nanti bisa melupakan cintanya, konsentrasi pada pelajarannya, agar berhasil cita-citanya. Hanif mencoba menghayati apa yang didawuhkan Romo Kiai.

"Khuthwatul wahdah fil hub, ka-annaha tarji'u alfi khuthwati minal 'amal"

'Satu langkah menuju cinta seolah-olah mundur seribu langkah dari cita-cita.'

Dia juga mengingat-ingat Dawuhnya Romo Kiai Pesantren Darussalam Blokagung, Romo Kiai Syafa'at yang kini Pesantren Darussalam merupakan pesantren terbesar di Banyuwangi.

"Dzabhul 'ilmi bainal fahidzaini"

'Tersembelihnya ilmu ada di antara dua paha.'

Niatnya semakin yakin jika mengingat dawuh-dawuh ini. Dia merasa lega. Seharusnya dia justru berterima kasih kepada Nurul. Lantaran Nurul jugalah dia jadi ber-azam untuk melanjutkan belajarnya.

***

Sinar mentari terus bersinar. Bergantian dengan malam yang kadang ditemani rembulan. Pagi menjemput siang. Siang menjemput sore. Sore memamerkan senja yang jingga. Dan malam, lalu datang memamerkan kegelapan yang hitam membutakan.

Semuanya tetap seperti itu hingga bertahun-tahun bahkan berabad-abad berlalu. Membentuk suatu siklus yang dikuasai sesuatu yang namanya waktu.

Waktu tak pernah tampak, waktu tak pernah bisa dipegang atau diraba, waktupun tak pernah bisa dibunuh. Namun disegala keadaan, waktu tetap ada disitu.

Waktu hanya bisa dirasa dan diperhitungkan. Begitu berharganya waktu, lebih berharga daripada sekedar sebongkah emas atau selaksa berlian mutiara. Bahkan dalam surat Al Ashr, Allah SWT sang Maha pencipta waktu, bersumpah atas nama waktu. Wal 'ashri, Dan demi waktu.

Proses kehidupan juga merupakan proses waktu. Menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan kehidupan. Waktu merekam semua keadaan, dan waktu suatu saat akan bersaksi di hadapan Tuhan atas semua keadaan tiap manusia dalam kehidupan.

Waktu berjalan tanpa ada yang bisa menghentikannya kecuali penciptanya. Ia berjalan menyaksikan kehidupan manusia, kehidupan para santri, kehidupan Nurul dan kehidupan yang lain.

Nurul sendiri baru merasa ternyata waktu telah berjalan cukup lama semenjak kepergian Kang Hanif . Sekarang saja Nurul sudah hafal Alfiyah lebih dari separuh, sekitar 700 Nadhom.

Padahal dulu, ketika Kang Hanif "Boyong", Nurul baru hafal Imrity masih sepertiganya.

Rindu sekali hati Nurul...

"Oh iya, Ra. Aku lupa, kemarin Kang Din memberi surat padaku, katanya dari Kang Hanif." Nurul membuka suara.

"Terus sekarang dimana suratnya?"

"Ini, di saku bajuku." Tangan Nurul mencoba merogoh saku baju yang tergantung di samping lemari. Mencari surat yang dimaksud.

"Nah . . . Ketemu, Ra." Surat yang katanya dari Kang Hanif sudah ada di tangan Nurul.

"Ngomong-ngomong kamu kangen gak sama Kang Hanif?"

Nurul menggoda Zahra.

"Ya kangen to, Rul, kamu ini sukanya kok godain orang, kamu kangen juga too??" Zahra menjawab dengan jujur tanpa ragu.

Nurul tidak menyahut, dia hanya menaikkan kedua alisnya sambil menyobek surat di tangannya.

Keduanya lalu bersama-sama membukanya dan membacanya

¤ Assalamu'alaikum

Maaf ini dari saya sendiri Kang Din, saya harap kalian bersabar,

Kang Hanif di Kudus kabarnya baik-baik saja, dan mungkin sekarang lebih baik.

Kang Hanif sudah menikah di Kudus.

Bersabarlah adik-adikku, saya hanya merasa wajib memberi kabar.

Tolong kabar ini dirahasiakan, karena baru pernikahan sirri.

Wassalamu'alaikum

¤Kang Din (Ahmad Nurudin)

Petir seakan menyambar bumi tanpa ada mendung atau hujan. Zahra tidak kuat lagi menahan air mata. Nafasnya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.

Nurul yang ada di sampingnya segera mengambil dua gelas air putih. Dia meminumnya dan satunya lagi diberikan pada Zahra.

Seperti Zahra, Hati Nurul juga begitu sakit. Meskipun berusaha menahan tetap saja butiran bening jatuh dari sudut matanya. Semakin lama semakin deras, hingga mata Nurul pun basah.

Keduanya sesenggukan sambil menyebut nama Allah.

"Ya Allah...."

"Ya Allah...."

"Ya Allah...."

Nurul dan Zahra mencoba menenangkan diri agar dadanya tidak semakin sesak, sambil seteguk demi seteguk meminum air putih, mereka tetap menangis

Surat itu telah membuat mereka menangis bersama, menangis karena cinta, sebenarnya mereka tidak menginginkannya tetapi mereka sudah tidak sanggup menahannya, menahan beban cinta yang kadang kejam tanpa iba.

Tak seperti Nurul, Jiwa Zahra mudah tergoncang oleh tekanan. Setelah lima hari tidak merasakan nikmatnya makan akhirnya Zahra jatuh sakit. Sakit yang sama dengan sakit yang dideritanya beberapa tahun lalu. Sakit karena cinta, cinta yang sama.

Sore ini selepas berjamaah sholat ashar tiba-tiba badan Zahra meriang, suhu badannya naik drastis, dan dia merasa pusing luar biasa. Nurul yang mengetahui sahabatnya sakit segera meminta tolong kepada mbak-mbak pengurus yang ada di kantor putri. Setelah mbak-mbak menelepon keluarganya kemudian Zahra dibawa ke RS Al-Huda.

Sebenarnya keadaan Zahra dan Nurul tidaklah jauh berbeda, keduanya sama-sama sedang merasakan nestapa yang datangnya tiba-tiba.

Nestapa itu datang tanpa diundang. Surat Kang Din yang dikira Nurul mengabarkan hal baik tentang Kang Hanif justru menjadi belati yang menyayat dan merobek-robek perasaan mereka.

Seketika perasaan keduanya sesak. Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan sebuah keadaan hati seseorang, dalam hitungan detik terjadilah perubahan perasaan yang dahsyat, begitulah Allah menunjukkan kekuasaanya, dan mereka sadar dengan hal itu.

Nurul menitikkan air mata melihat pergelangan tangan kiri Zahra tertancap selang infus, Zahra tidak hanya menderita batin, tetapi dhohirnya juga menderita.

"Bagaimana keadaanmu, Ra?"

"Baik, Rul, tenang jangan khawatirkan aku!" Terlihat sekali senyum Zahra sangat dipaksa.

"Kita harus ikhlas, Ra, ikhlas itu punya kekuatan, aku yakin kita akan semakin kuat."

"Apakah kamu sudah ikhlas, Rul?"

"Belum, tapi aku sedang belajar."

"Apakah kamu membenci Kang Hanif, Rul?"

"Al-Qolbul ladzi yuhibbu la yakrohu, hati yang mencintai tidak pernah membenci, Ra." Nurul menjawab pertanyaan Zahra seolah-olah Nurul sangat tegar menghadapi ini semua.

Zahra hanya diam, wajahnya masih sangat pucat...

Sambil tersenyum Nurul mencoba menghibur Zahra .

"Ayahmu insyaallah nanti sekitar habis Isya' ke sini."

"Kenapa aku tidak bisa setegar kamu, Rul? Kabar pernikahan Kang Hanif benar-benar seperti meluluh-lantakkan hidupku." Zahra seolah-olah tidak mendengar apa yang dikatakan Nurul baru saja.

"Sebenarnya aku juga tidak tegar, Ra, kau tahu? Aku Istihadhoh sejak malam sehabis membaca surat itu, sampai sekarang. Tapi bagaimana lagi? Al-Umuuru bihadhirihaa, terimalah segala sesuatu sebagai mana adanya."

Meski masih berat untuk tersenyum, ada kesejukan yang menyusup hati Zahra mendengar penuturan Nurul.

"Kita harus belajar ikhlas."

Nurul menganggukkan kepala, setuju dengan apa yang baru saja diungkapkan Zahra.

* **

Setelah sholat isya' Pak Mahali segera bersiap-siap untuk ke RS Al-Huda. Karena Ibu Shofiyah harus di rumah mengurus usahanya, maka beliau pergi sendirian. Bapak Mahali adalah seorang pengusaha.

Mempunyai sebuah pabrik konveksi yang bertempat di belakang rumahnya. Pabrik konveksinya sudah lumayan terkenal. Karyawannya sudah ada lebih dari seratus orang.

Malam ini para karyawan harus lembur untuk memenuhi target produksi, jadi Ibu Shofiyah terpaksa tidak ikut ke rumah sakit.

Setelah siap, Pak Mahali segera mengeluarkan motor dan berangkat ke RS. Lima belas menit perjalanan Pak Mahali sudah sampai di depan RS. Pak Mahali menarik gas motornya untuk menyeberang jalan, yang ada dalam angan-angannya hanyalah ingin segera sampai dan segera bertemu dengan Zahra, anak perempuan yang sangat disayanginya. Bersamaan dengan itu dari arah utara sebuah mobil Daihatsu Xenia hitam melaju dengan kencang. Mungkin karena fikiran kacau Pak Mahali tidak menyadari hal itu. Ketika pak Mahali menyadarinya semuanya sudah terlambat, Rem dari Mobil hitam itu juga terlambat.

Sebuah suara benda keras saling berbentur diikuti oleh teriakan seorang lelaki yang belum terlalu tua tiba-tiba saja terjadi di depan Rumah Sakit Al-Huda malam itu.

Sebuah takdir Allah terjadi. Mobil Daihatsu Xenia hitam tidak berhenti, malah semakin kencang berlalu begitu saja ke arah selatan. Sementara di pinggir jalan depan RS Al-Huda semakin ramai orang-orang, mereka berbondong-bondong menolong tubuh bapak-bapak yang tersungkur bersimbah darah tak berdaya di pinggir jalan. Tubuh itu langsung dibawa ke UGD RS Al-Huda.

Tidak ada yang mengenal tubuh bapak-bapak itu, mobil yang menabrak pun hilang kemana. Sempat ada seorang polisi yang mencoba mengejar, tapi polisi itu sudah sangat terlambat. Karena memang jarak RS dan Kantor Polisi yang lumayan jauh. Polisi itu datang setelah seorang satpam menelponnya.

Orang-orang yang melihat kejadian itu banyak yang beristighfar, menyayangkan kenapa mobil hitam pergi begitu saja, apakah sopirnya memang sudah hilang rasa perikemanusiaanya, sehingga orang tua yang dia tabrak pun di abaikan tanpa acuh.

Mungkin dunia memang sudah tua. Akal budi para penghuninya sudah hampirsirna, semuanya memikirkan kepentingan sendiri tanpa peduli.

Previous: Part 10
Next: Part 12

Portal Ilham tidak akan bertanggungjawab di atas setiap komen yang diutarakan di laman sosial ini. Ianya adalah pandangan peribadi dari pemilik akaun dan ianya tiada kaitan dengan pihak Portal Ilham.

Portal Ilham berhak untuk memadamkan komen yang dirasakan kurang sesuai atau bersifat perkauman yang boleh mendatangkan salah faham atau perbalahan dari pembaca lain. Komen yang melanggar terma dan syarat yang ditetapkan juga akan dipadam.

Karya lain oleh Asfahul Muhib