Home Novelet Islamik Ketika Senja Berkata Cinta
Ketika Senja Berkata Cinta
Asfahul Muhib
7/4/2020 04:09:11
61,256
Kategori: Novelet
Genre: Islamik
Part 9

"Kalau Bapak sama Ibu terserah kamu, Rul, apapun pilihanmu Bapak sama Ibu akan mendoakan yang terbaik buatmu."

Pak Miftah berbicara sambil menyeruput teh hangatnya.

"Kamu, kan sudah dewasa. Menurut Ibu, ya fikirkanlah masa depanmu! Maksudnya, lihatlah Idah! Putrinya Pak Rusli tetangga depan. Dulu dia temanmu satu kelas to? Sekarang sudah punya anak. Bu Khot, istrinya Pak Rusli senang sekali mempunyai cucu. Tapi terserah kamu bagaimana baiknya."

Mendengar Nasihat kedua orang tuanya, Nurul diam saja. Keputusan mana yang harus diambil? Kalau mendengar ungkapan kedua orang tuanya, Nurul menangkap kalau ibunya ingin dia menikah saja, menerima Kang Hanif sebagai suaminya.

"Sudah, jangan bingung, kalau kamu ingin berangkat ke pesantren, biar nanti sore Bapak antar. Sudah satu Minggu kamu di rumah. Kemarin Pak Mahali, ayahnya Zahra itu ke sini lo, menanyakan kamu, Zahra sudah kangen katanya, sudah kamu baca suratnya?"

Nurul menjawab pertanyaan Bapaknya dengan anggukan kepala.

"Nurul berangkat ke pesantren nanti sore ya, Pak?"

Nurul lalu bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke kamar. Dia merasa lega setelah menceritakan kepada orang tuanya, tentang perihal surat Kang Hanif dan keinginannya melanjutkan belajarnya. Nurul sangat bersyukur karena orang tuanya tidak memberikan keputusan kepadanya, tapi memberi pilihan. Terasa sekali kalau orang tuanya orang yang sangat bijak. Kini dialah yang harus memutuskan sendiri dan membuat pilihan.

Semuanya harus dipertimbangkan. Tentang Adik-adik yang masih sekolah, tentang ekonomi keluarga yang pas-pasan, tentang keinginan ibu, dan pasti tentang perasaan Zahra. Semua dia fikirkan.

Lalu Nurul menulis sebuah surat untuk Kang Hanif, sebagai balasan surat yang kemarin.

***

Menjelang maghrib, Nurul sudah berada di dalam kamar A13. Kamar tercinta yang penuh kenangan dan sejarah. Kamar yang menjadi saksi atas tangis dan tawa penghuninya. Mulai hari ini sejarah akan mulai diukir kembali.

"Lo, Nuruuulll . . ." Zahra yang baru kembali dari kolam berteriak melihat sahabatnya sudah ada di dalam kamar.

Mereka berdua bersalaman lalu berpelukan, menumpahkan rasa kangen yang sudah seminggu ditahan.

"Sama siapa tadi berangkatnya?"

"Sama Bapak, sekarang beliau sudah pulang, ni aku bawain oleh-oleh." Nurul menyodorkan bungkusan plastik.

"Singkong goreng rasa bawang?" Zahra segera menaruh handuknya dan berganti baju.

"Iya, tuan putri."

"Wah mana, kamu sendiri yang goreng?"

"Iya, dong!"

Mata Zahra berbinar. Singkong goreng buatan Nurul lezat sekali, dia pernah mencicipinya ketika bermain kerumah Nurul. Keduanya lalu memakan singkong goreng itu dengan lahapnya. Tak lupa Zahra mengundang teman-teman tetangga kamar. A13 pun ramai. Mereka semua menikmati oleh-oleh Nurul. Sambil makan mereka menanyakan kabar Nurul, kabar ini dan itu. Mereka juga saling mencandai satu sama lain. Tentunya sambil melahap Singkong goreng rasa bawang, singkong kebahagiaan. Singkong yang dipilih Allah Tuhan semesta alam sebagai perekat persahabatan dan persaudaraan mereka.

***

Di kantor pondok putra, Hanif sedang berbunga-bunga. Dia mendekap sebuah surat yang baru saja diberikan Kang Din. Hanif yakin kalau surat berbungkus amplop putih yang dia pegang itu, hanyalah sebuah penegasan. Semuanya sudah diceritakan Zahra ketika di RS itu, Hanif begitu yakin.

"Kamu harus siap lo, Nif, dengan jawabannya, apapun itu." Kang Din mulai berbicara setelah menyerahkan surat.

"Iya, Kang."

Kemudian Kang Din bercerita bahwa surat itu tadi diberikan oleh Pak Miftah, Ayah Nurul sendiri.

"Pak Miftah tadi mengantarkan Nurul ke pesantren. Lalu Nurul menitipkan surat itu kepada beliau untuk diberikan kepadaku, selanjutnya kuberikan padamu itu."

"Iya, Kang, terima kasih sekali."

"Yang perlu diingat jika nanti kamu benar-benar menikahi adikku itu, niatlah untuk Itba' Nabi! Jangan hanya menuruti nafsu cintamu. Karena jika kau salah menempatkan cintamu, kau tidak akan pernah menemui makna dari hadist Nabi "Almar'u ma'a man ahabba."

Kau masih ingat kan cerita seorang A'robi yang datang kepada Nabi? Dia menanyakan tentang hari kiamat. Saat itu Nabi mengisyaratkan kepada A'robi bahwa dia akan masuk surga karena cintanya. Cintanya kepada Allah dan Rasulullah."

"Masih, doakan, Kang! Aku juga belum tau isi surat ini".

Maghrib pun tiba, Hanif dan Kang Din segera mengambil wudhu lalu pergi ke mushola untuk sholat berjamaah. sebelumnya Hanif telah menyimpan suratnya di lemari di dalam kamar.

Setelah sholat, Hanif melanjutkan wirid, memperbaharui syahadatnya, memohon ampun atas dosanya, dan bersyukur karena merasa semua urusannya dipermudah dan ditolong oleh Allah SWT. Sesudah itu Hanif pergi ke serambi Mushola untuk ngaji "Sorogan".

Sorogan merupakan metode pengajaran secara langsung atau bahasa lain disebut" face to face" atau "Talaqqi". Jadi seorang murid akan menghadap gurunya dengan membawa sebuah kitab. Guru akan membacakannya dan si murid menyimaknya. Setelah itu murid mengikuti apa yang dibacakan guru. Guru juga memberikan keterangan-keterangan jika diperlukan. Sudah sejak masuk pesantren ini Hanif mengenal Sorogan. Dan sekarang, dia sudah menjadi seorang guru. Pernah suatu kali ada santri dari kota yang menanyakan perihal Sorogan. Menurutnya Sorogan merupakan metode kuno dan tidak berkembang. Hanif kemudian mencoba menjelaskan bahwa Sorogan bukanlah masalah berkembang atau tidak berkembang, tetapi ini masalah Barokah dan tidak Barokahnya suatu ilmu. Guru Sorogan harus sangat berhati-hati ketika membacakan dan menerangkan tentang isi suatu kitab. Karena apa-apa yang keluar dari guru itu akan langsung diterima oleh seorang murid.

Jadi sebelum menjadi guru, seseorang harus sudahbenar-benar faham dan menguasai materi sorogan. Guru dituntut harus bisamengukur kemampuan murid, kalau bahasa Kiai, Guru harus "Ma'rifat" kepadasantri. Lebih jauh Hanif menjelaskan bahwa metode Sorogan juga digunakan diMasjid Nabawy, Madinah, di Aljazair, Marocco, Yaman, Pakistan dan Afghanistan.Hanif menjelaskan dengan sehalus-halusnya.

Previous: Part 8
Next: Part 10

Portal Ilham tidak akan bertanggungjawab di atas setiap komen yang diutarakan di laman sosial ini. Ianya adalah pandangan peribadi dari pemilik akaun dan ianya tiada kaitan dengan pihak Portal Ilham.

Portal Ilham berhak untuk memadamkan komen yang dirasakan kurang sesuai atau bersifat perkauman yang boleh mendatangkan salah faham atau perbalahan dari pembaca lain. Komen yang melanggar terma dan syarat yang ditetapkan juga akan dipadam.

Karya lain oleh Asfahul Muhib