PROLOG
GADIS jelita berambut lurus mencecah
pinggang itu memandang bulan yang sedang mengambang penuh di langit. Rambutnya
yang panjang disisirkan. Dia duduk bersimpuh di tepi pergi. Di sampingnya terdapat
itu tujuh kuntum bunga. Bunga-bunga itu ditaburkan ke dalam tempayan. Kemudia,
dia menceduk air tempayan bercampur tujuh bunga itu lalu dijirus pada seluruh
tubuhnya.
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet
Lembaga
menyerupai seorang perempuan tua yang mengerikan muncul di belakangnya. Bibir
gadis itu mengulum senyuman.
“KAU makan apa tu?” soalnya. Dalam gelap
pun temannya itu masih boleh makan. Bunyi macam orang kelaparan saja.
Bau
hanyir meloyakan tekaknya. Dia menekup. Tangannya menekan suis lampur dapur.
Dia merengus kecil. Lampu kalimatan itu tidak menyala pula. Dia mencari lilin
di ruang tamu kemudian kembali dengan lilin yang sudah dinyalakan di tangan.
Dia
meletakkan lilin di atas meja. Matanya terbelalak apabila melihat ‘benda’ yang
sedang dimakan lahap oleh temannya itu.
Hampir
terjeluak dia melihatnya. Temannya itu hanya tersengih menghabiskan sisa yang
tertinggal di atas pinggan.
‘Hi…
hi… hi…” Terkekek-kekek dia ketawa sambil mejilat darah yang meleleh di
bibirnya dengan lidah.
“Aaa…”
Jeritannya tersekat dikerongkong.
Tubuhnya
bagaikan dipasung. Temannya itu menyeringai lalu menerkam ke arahnya.