The new story....
The chapter begin....
PAK ARYAWAN terus leka tatap suratkhabar di tangan. Sesekali mata kerling wanita di balkoni depan. Rancak bersembang sejak tadi di talian. Teruja benar. Entah dengan siapa agaknya sedang berbual.
"Iya. Nanti mama sampaikan salamnya buat baba. Kamu jaga diri baik-baik di sana, ya. Punya masalah, bilang terus ke mama. Assalamualaikum."
Talian dimatikan. Wanita itu terus duduk di sisi Pak Aryawan. Bibir tak henti-henti menguntum senyuman.
"Rancak bualnya. Bicara sama siapa?"
"Aryan, mas.
"Aryan?"
"Iya. Dia lagi kirim salam buat mas."
"Waalaikumussalam. Mau apa anak itu nelefon tiba-tiba?"
Ibu Dian terkejut. Senyumnya mati. Keningnya berkerut.
"Loh! Itu anak, kan? Anak mau nelefon sama orang tuanya, apa salah?"
"Salah emang nggak salah. Tapi aneh."
Sekali lagi dahi Ibu Dian berkerut. "Aneh? Aneh apaan, sih?"
"Ya, anehlah. Selagi yang bikin itu namanya Aryan, emang aneh segala. Jangankan mau nelefon, mau titip pesan buat kita juga lagikan susah. Boleh dikira sama jari ini!"
"Anak kita itu lagi sibuk, mas."
"Sibuk apaan? Ke sana ke mari, ke sana ke mari lagi di tempat orang."
"Sekurang-kurangnya dia masih kirim khabar ke kita, kan."
"Ermm... khabar yang setahun cuma dua tiga kali doang dari dia. Itu untung kalau ada," balas Pak Aryawan selamba. Mata masih terus melekat di dada akhbar.
Ibu Dian kunci suara. Sedar mood sang suami sedikit berangin bila topik Aryan mula diutara.
Suasana ruang tamu jadi hening tiba-tiba. Hanya bunyi dari layar kaca TV sebesar 60 inci menjamu telinga.
"Ada apa Aryan nelefon?"
Suara garau itu kedengaran semula. Spontan senyum Ibu Dian kembali mekar.
"Katanya mau pulang, mas."
"Kapan?"
"Minggu depan."
"Kali ini berapa lama pulangnya?"
"Pulang terus."
Bacaan Pak Aryawan tersekat. Wajah isterinya ditenung tepat. "Pulang terus?"
"Ya, iya. Itu yang dibilang sama dia."
"Anak mama itu lagi sihat apa nggak?"
"Hisy!" Ibu Dian tepuk peha suaminya. "Mas ngapain bilang begitu, sih? Aryan itu lagi sihat walafiat, mas. Kok ditanya begitu!"
"Ya, iyalah. Anak kita itu selalunya punya macem-macem alasan bila disuruh pulang. Apalagi kalau disuruh bantuin mas di kantor. Katanya apa... mau merantaulah, mau cari pengalaman di tempat oranglah, mau hidup berdikarilah. Nah sekarang... mau pulang terus tiba-tiba, setelah bertahun nggak muncul depan kita. Apa mama nggak hairan?"
"Ya mama juga ikutan hairan, dong. Tapi Aryan itu kan udah mau pulang. Makanya kita harus bersyukur. Ini yang kita doain selama ini, bukan? Mahu dia pulang terus. Sekarang ALLAH udah jawabin doa kita. Lagian, dia itu ikutin cara siapa? Cara mas juga kan waktu muda-muda?"
Pak Aryawan kerling Ibu Dian. Dia yang mahu meluah, dia pula yang terkena sekarang.
Memang waktu muda dulu dia juga suka mengembara. Asia, Australia, Eropah, Afrika, Amerika. Benua mana yang tak dia jelajah? Tapi semua itu demi mencari ilmu dan pengalaman. Buat meluaskan empayar syarikat warisan keluarganya. Aryan?
Anak itu terlalu banyak tujuan. Lepas tamat belajar di Manchester, terus mengembara ikut sukanya. Timur barat, selatan, utara. Ke ceruk pedalaman sekalipun tidak mengapa. Asal dirinya puas dan bebas ke mana-mana.
"Sekurang-kurangnya mas melakuin semua hal itu dulu demi perusahaan kita," betah Pak Aryawan.
"Iya. Mama tau. Dan mama yakin Aryan juga sedang melakukan hal yang sama. Cuma caranya mungkin berbeda."
"Berbeda gimana?"
Ibu Dian hela nafas. Ingatan terus menjauh teringatkan anaknya.
"Aryan itu selalu bilang ke mama kalau dia bercita-cita banget mau jadi seperti Ibnu Batutah. Kembara keliling dunia, kunjungi negara orang, mengenal manusia yang bermacem budaya dan latar belakang. Cari ilmu, cari pengalaman, bantu insan yang memerlukan. Kayak 'Pengembara Muslim' terbesar dan tersohor dunia itulah.
Mama pikir dia cuman gurau doang. Tapi nggak nyangka sih dia benar-benar serius. Justeru bila dia punya kesempatan itu sekarang, makanya sungguh-sungguh dia melakuin hal itu. Ya siapa tahu bila pulang anak itu nanti, dia bawa sesuatu yang lumayan. Bukan buat kita aja, malah buat kebaikan semua. Apa mas nggak bangga anak kita punya impian seperti itu?"
"Mas nggak bilang apa-apa, kok."
"Terus? Mas nggak suka anak kita itu pulang?"
"Ya, nggaklah. Masakan begitu. Mas cuman penasaran aja, deh. Soalnya, bertahun dia itu menghilang, tiba-tiba sekarang mau pulang terus. Siapapun pasti lagi terkejut. Asal mama tau, mas ini nggak peduli sama sekali Aryan itu mau merantau ke penjuru dunia mana sekalipun. Yang penting adat sama agamanya tetap terpelihara, cukup."
"Iya. Mama juga doain yang sama, dong. Lagian anak kita itu merantau buat melupain segala hal yang telah berlaku, mas. Apa mas lupa?"
Pak Aryawan terdiam. Bukan dia lupa. Cuma kepalanya yang tak mahu ingat.
"Jam berapa penerbangannya tiba nanti? Hari apa?"
"Yang itu mama nggak tau, sih. Aryan nggak mau kasi tau. Katanya mau bikin surprise. Tapi mama lagi khawatir ini."
"Khawatir apaan, sih?"
"Aryan itu kan baru pertama kali mau datang ke Malaysia. Kalau sampeinya kapan kita nggak tau, gimana mas? Siapa yang mau jemput dia di airport sana? Terus kalau dia sesat, gimana? Atau ikutan entah siapa-siapa. Atau mau culik dia barangkali. Waduh! Gawat, sih!" Ibu Dian cuba luah risaunya. Namun terbantut bila gelak si suami tiba-tiba bergema.
"Mas ngapain ini ketawa-ketawa? Mama lagi khawatir, tau nggak!"
Pak Aryawan capai kopi panas atas meja. Dihirup minuman itu perlahan-lahan. Habis itu dia kembali menatap akhbar.
"Mama usah fikir macem-macem, ah. Aryan itu kan udah besar panjang. Terus mau jadi seperti apa? Ibnu Batutah mama bilang tadi, kan? Setakat Malaysia ini dalam genggaman dia aja, deh! Emangnya dia juga sering bikin surprise buat kita, kan."
"Itu mama tau. Soalnya...,"
"Usah khawatir ah, ma! Selagi yang bikin itu namanya Aryan, apapun dia bisa lakuin. Mau hilang kek, mau sesat kek, culik kek, apa kek. Anak itu pasti bakal muncul depan kita bila tiba harinya."
Terpinga-pinga Ibu Dian dengar ayat selamba dari suaminya.
DAUN pintu ditolak. Buat semua yang ada dalam bilik itu tersentak. Tengah sedap-sedap bersantai, tiba-tiba pula sosok itu masuk. Menggelupur masing-masing bangun.
"Boss!"
"Hmm."
Zen berjalan masuk. Dengan diekori seorang gadis di belakang. Sampai di tengah-tengah bilik, dia berhenti. Satu-persatu muka anak buahnya dipandang.
"Semua orang ada kat sini?"
"Ada, boss!" Suara-suara dalam bilik itu sahut serentak.
"Bagus. Untuk kejayaan misi kita semalam, well done! Jadi sebagai ganjaran, I bagi semua orang rehat sampai hujung minggu. Pergi mana you all nak pergi. Enjoy puas-puas!"
Sorakan bergema. Masing-masing teruja. Bukan senang boss nak bagi 'cuti'. Tapi hari ni mood dia lain macam sikit.
"Tapi..."
Spontan semua kembali diam.
"... ada tugas besar menanti selepas tu."
Mata Zen cari orang kanannya. Gambar yang sejak tadi dalam genggaman dilayangkan ke atas meja. Betul-betul depan lelaki itu.
Hunter pandang ketuanya. Kemudian gambar tersebut. Sekeping gambar lelaki yang tak dikenali menjamah mata.
"Siapa?"
"Next mission."
Kening kiri Hunter terangkat. Masih tak faham.
"Anak hartawan terkenal Indonesia. And top ten the most richest person in the world."
Gambar itu dicapai. Direnung dari atas ke bawah. Gambar kandid yang diambil tanpa sedar si empunya badan.
Boleh tahan kacak. Penampilannya usah cakap. Segak walau ringkas. Sesuailah dengan status sebagai anak hartawan.
"Boss nak buat apa dengan dia?" soal Hunter.
"Macam biasa."
"Sampai ke Indonesia?"
Zen senyum senang. Tiada balasan. Hanya sinar mata menzahirkan apa yang tersirat di benaknya sekarang.