Senja di perkuburan Islam desa itu tampak suram dan sepi. Ranting-ranting kayu dan dedaun pohon cengal berselerakan dilantai menambahkan lagi rasa keseraman sesiapa yang memandang. Disitulah tempat persemadian jasad yang telah lama terbujur kaku dimamah tanah.

Tidak jauh dari sebatang pohon cengal sebesar pemeluk orang dewasa itu terlihat tiga susuk tubuh yang sedang merenung dengan kusyuk sepasang batu nisan yang sudah berlumut tidak terjaga malah sudah senget dan semakin menyembah bumi. Bagi mereka kesunyian dan kesuraman tempat terasing itu langsung tidak memberi bekas bahkan rasa sunyi itu sudah sebati dengan jiwa mereka sejak orang yang disayangi kembali menemui Pencipta. Dedaun pepohon cengal mula menutupi permukaan tanah rata yang dulunya gembur dan memerah. Rumput yang melatari disekitarnya seakan memberitahu kuburan sepi itu tidak pernah dikunjungi sebaik jasad itu bersemadi disitu. Masing-masing kaku sepertinya sedang berbicara dengan diri sendiri,meneroka setiap kenangan yang tercipta antara mereka. Setitik dua airmata bergabung dan bersatu dengan rasa sendu yang cuba ditahan. Berbelas tahun mereka menunggu saat-saat ini. Pertemuan yang terbatas oleh dua alam yang berbeza biarpun hanya mampu melepas rindu pada dua nisan kaku itu sudah cukup melegakan sedikit batin yang tersiksa. Pohon kemboja yang dulunya hanya sebesar botol mineral kini tumbuh mekar menjadi pepohon rimbun lebat berbunga. Tetap setia menemani pusara bersama kuntum-kuntum putih yang berbau harum.

Disini,di kampung inilah bermulanya hidup derita mereka, derita yang meninggalkan luka dan parut pada sebuah kehidupan. Kepada terjadinya perpisahan yang tiada lagi pertemuan diantara anak dan ibu. Keruntuhan sebuah keluarga yang disebabkan nafsu tamak haloba.  Kepahitan ditelan pada usia yang begitu muda semuanya menjadi rencah terbentuknya siapa mereka kehari ini.

Mentari merah jingga yang tidak lagi berbahang itu perlahan-lahan menyembunyikan diri.Tiga jasad itu seakan berat mahu berpisah walau hanya dengan batu yang berdir ikaku. Kerinduan yang bergunung tinggi itu masih tidak mampu melepaskan saparuh dari rindu yang dikendong selama bertahun ini namun mereka tetap akur harus pulang demi kelangsungan hidup.

“Jom kak, hari makin gelap sekejap lagi masuk waktu maghrib”

Sapaan itu terus melenyapkan lamunan yang bertandang. Tangan si adik terus bersambut.Menyapu seketika kotoran yang melekat pada baju kurung kuning cairnya yang dihiasi corak mawar merah. Sayu mata itu melemparkan sebuah pandangan pilu kearah kuburan sebelum kaki berat melangkah pergi. Hatinya berjanji untuk datang bertamu lagi biarpun hanya batu nisan dan sepi yang menyambut mereka.