Gerimis masih saja membasuh bumi. Membasahi tanah, rumput, daun-daun dan membasahi seluruh daratan desa Blokagung. Awan putih nampak melayang-layang seperti kapas yang menggulung di angkasa. Gagah perkasa menyejukkan bumi dengan butiran-butiran airnya. Gerimis itu semakin lama semakin hilang, berganti dengan hujan. Hawa dingin segera merayap, menyelimut dan menusuk menembus kehangatan kulit para penduduk. Selalu saja, hujan membawa hawa dingin. Dan kadang hujan itu menjadi penyebab gelisah sebagian manusia., termasuk dua anak manusia yang sedang bercengkerama di dalam kamarnya. Nurul dan Zahra.
Zahra menutup kitab Imritinya, dia tidak bisa berkonsentrasi untuk menghafal Nadhom-nadhom Imritinya. Kitab Imriti memang berbentuk Nadhom-nadhom, semacam Syair agar mudah dihafal.
"Mengapa hujannya tak juga reda?" bisiknya.
Meski mencoba tenang, terlihat ada kegundahan di raut mukanya. Akhir-akhir ini Zahra memang suka gelisah, terlebih jika Senin sore seperti sekarang ini.
Hanya Nurul, teman satu kamarnya yang mengetahui penyebab kegelisahannya itu. Sejak pertama kali masuk ke pesantren Darul Manan, Nurul lah yang membantu dan menolong Zahra apabila menemui kesulitan. Hingga mereka akrab dan menjadi teman baik.
Setiap sore mereka menghafal Nadhom Imrity bersama-sama. Dan setiap Senin sore, Nurul sudah bisa menebak kegelisahan Zahra. Kadang-kadang Zahra akan begitu bersemangat, kadang pula bermalas-malasan seperti saat ini.
"Sudah dua kali libur, masa nanti malam libur lagi?" Zahra mulai kesal. Kesal pada hujan yang seminggu lalu menyebabkan kegiatan belajar Qiro'at libur.
"Mungkin memang sesuai dengan Bulannya Ra, Januari, "Hujan sehari-hari" begitu kata pak Tamar guru IPAku waktu MTs dulu." Nurul mencoba menghibur . . .
***
Para santri putri telah berkumpul di mushola untuk melakukan sholat maghrib. Tinggal menunggu Ummah yang menjadi imam sholat. Ummah merupakan panggilan untuk Ibu Nyai, Istri Pak Kiai sang Pengasuh pondok pesantren.
Memang mushola yang ini khusus untuk santri putri. Terletak di kawasan pondok putri. Mushola ini tidak hanya untuk tempat sholat, tetapi juga tempat mengaji para santri putri. Sementara untuk santri putra, mereka tinggal di sebelah barat. Sebuah tembok besar berdiri kokoh menggaris dari selatan ke utara membatasi pondok putra dan pondok putri. Penghubung keduanya adalah Ndalem, rumah Romo yai, pengasuh pondok pesantren.
Seusai sholat maghrib berjamaah, beberapa santriwati pergi ke Aula. Sebagian dari mereka ada juga yang bersantai di dalam kamarnya.
"Ayo, Rull, cepeett . . . !!!" Zahra sudah tidak sabar menunggu Nurul yang masih di depan cermin membetulkan kerudungnya.
"Sabar, Ra! Lagian kang Hanif pasti juga belum datang."
Zahra diam tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum memandang aula yang letaknya berhadapan dengan kamarnya. Jarak aula dari kamar hanya sekitar dua puluh lima Meter ke arah timur, tepat di selatan mushola.
Lampu di aula sudah menyala, berarti sudah ada manusia yang datang kesana.
"Yuk . . ." Dari arah belakang Nurul menggandeng tangan Zahra menuju ke Aula.