Putri melipat kotak untuk
menjadikannya lebih kecil. Kemudian dia
duduk di atas kotak untuk lipatan menjadi lebih kemas. Dia kemudiannya tersenyum riang sambil
mengangkat tangan kepada tauke kedai itu.
“Terima kasih uncle. Kalau ada simpan untuk saya.” Laung Putri dengan nada riang.
Putri berjalan di celah-celah
bangunan dengan perasaan yang gembira. Sudah tentu dia akan dapat menjual
kotak-kotak itu. Sekurang-kurangnya
dapatlah dia membuat perbelanjaan sekolah.
Tidaklah dia menyusahkan abangnya untuk memberi duit belanja.
Putri mendongak melihatkan
sinaran yang benar-benar memeritkan kulit mukanya. Dia mengelap peluh dengan hujung
tudungnya. E… hitam. Dia kemudiannya terlihatkan seorang lelaki
yang sedang asyik menikmati minuman 100 plus di hujung tembok. Dia menelan air liur. Sedapnya…. Kalaulah
dapat air tu dah tentu hilang dahaga.
Putri mengeluh perlahan. Erm….
Tak dapat air mahal tu dapat air paip dah cukup baik ni. Putri meneruskan perjalanan. Melihatkan lelaki itu membuang tin minuman
Putri terhenti. Dia menapak ke belakang
dan segera menghampiri tong sampah yang berhampiran. Dia segera mencapai tin minuman dan
memijaknya dengan kuat. Rezeki lagi…
Putri tersenyum lagi.
Putri meneruskan perjalanan di
lorong antara bangunan untuk sampai ke tempat cuci kereta RAHMAN CAR WASH. Wajahnya dari tadi bercahaya dengan sinaran
kegembiraan yang tidak dapat digambarkan.
Putri segera melampaikan tangannya dan segera menuju ke arah abang
kesayangannya itu.
“Abang, Putri dah balik.” Putri bersalam dengan Putra dan beg sandang
terus di letakkan di atas pangkin di bawah pokok besar tempat mereka berteduh.
“Hai abang Rasul!” Jerit Putri dengan rasa gembira.
“Amboi adik abang ni. Bukan main seronok nampaknya hari ni. Dah kenapa?”
Tanya Putra yang sedang mencuci kereta milik pelangganya. Kereta Ferrari itu kembali bersinar setelah
dicuci. Putra juga tersenyum melihatkan
adiknya yang ceria itu.
“Tak nak kongsi dengan abang
ke?” Tanya Putra yang masih lagi tangannya berjalan.
“Lepas abang habis semua ni kita
pergi tempat uncle Ramesh. Putri ada
dapat barang-barang tu. Kalau kita jual
sekali dengan yang lain mesti kita dapat lebih kan bang.” Putra mengangguk.
Memang itulah
perancangannya. Sudah banyak dia
mengumpul kotak, kertas dan tin. Memang
sudah masanya untuk dia menjual. Putra menyambut senyuman Putri yang duduk
selesa di atas pangkin. Putra
kemudiannya meninggalkan kerjanya dan mendapatkan Putri.
“Okey, kalau nak pergi jual
barang-barang tu Putri kena siapkan kerja sekolah dulu. Kalau tak siap abang tak bagi Putri
ikut.” Putri berubah wajah. Masam.
Hilang segala senyumannya tadi.
“Ala…. Tak bestlah macam
ni. Putri nak ikut abang juga.” Putra
tersenyum dengan perilaku Putri itu.
Putri, itulah buah hati pengarang jantungnya. Putrilah amanah dari ayah dan ibunya yang
sudah lama meninggal dunia. Putri
jugalah rakan dan temannya. Darah yang
mengalir di dalam dirinya adalah darah Putri juga. Walau apa yang terjadi, dan walau apa yang
dihadapi dia akan terus melindungi satu-satunya warisnya.
“Nanti kalau tak siap kerja
sekolah cikgu mesti marah. Putri nak
kena marah dengan cikgu ke?” Putri menggeleng.
“Tak apa. Putri makanlah dulu. Lepas makan nanti Putri boleh buat kerja
sekolah. Lagi pun abang banyak kereta
yang nak kena basuh.”
“Okeylah…. Abang beli apa?”
Tanya Putri yang sudah bertukar moodnya.
“Abang ada beli nasi untuk
Putri. Tapi lauk sayur je.” Ujar Putra perlahan. Putri memandang kepada Putra.
“Ala… tak apa bang. Cikgu Putri cakap siapa yang makan sayur dia
boleh jadi kuat.” Putra tersenyum
kecil. Melihatkan Putri itu hatinya
sayu. Untuk tengah bulan begini berapa
sangatlah dia boleh mengumpul upah. Dia
tidak mahu Putri terasa apa yang dia lalui.
Biarlah Putri dengan rasa gembira.
Sesekali tidak dia bercerita apa yang telah dipendamkan. Dia tidak mahu Putri yang hanya berumur 11
tahun itu berkongsi kesusahan dan kepayahannya.
“Abang makan sekali?” Putri
membuka bungkusan makanan dan ternyata sayur kobis dan kuah masak lemak itu
menyapa hidung kecilnya.
“Putri makanlah. Abang dah makan. Abang nak sambung kerja balik. Nanti kalau tuan kereta tu datang tak siap
lagi teruk abang kena nanti.” Putra
bangkit. Namun belum sempat dia melangkah, Putri sudah pun memegang lengannya.
“Putri tau. Abang tak makan lagi. Putri makan separuh, nanti abang makan separuh ye.” Putra
berpaling.
“Abang dah makan. Betul.
Putri makanlah. Lepas tu siapkan
kerja sekolah.” Tegas Putra.
“Tak apa. Putri tinggalkan separuh untuk abang. Lagi pun nasi ni banyak sangat. Manalah Putri boleh habiskan.” Putra tersenyum dan mengangguk. Sememangnya dia sedang kelaparan. Semenjak pagi dia tidak menjamah sebarang
makanan.
Putri melemparkan senyuman
kepada Putra saat selesai menutup car wash hari itu. Bermakna selepas ini bolehlah dia pergi
menjual barang-barang kitar semula kepada Uncle Ramesh. Dia segera mencapai beg sandang dan
barang-barang yang dikutipnya semasa dia pulang dari sekolah.
“Jom balik.” Memang itulah ayat yang ditunggunya dari
tadi. Tak sabar rasanya untuk dia
mengetahui berapa hasil yang dia akan dapat nanti.
“Abang, best tak naik kereta Ferrari tadi?”
Pertanyaan Putri itu benar-benar mengusik hatinya. Dia ketawa.
“Ala… dik kalau bawa kereta
semua sama je. Cuma jenama kereta tu je
yang orang rasa bangga sangat.”
“Bila Putri tengok abang naik
kereta tu macam sepadan je. Abang
belilah satu nanti.” Meledak tawa Putra
mendengarkannya. Benar-benar besar
harapan adiknya itu.
“Putri ingat kereta tu boleh
beli dengan seringgit dua ke? Orang yang
bergaji 5 ribu pun belum tentu dapat beli kereta tu. Lainlah kalau kaya, dik.”
“Tak apa bang. Nanti Putri
belajar rajin-rajin Putri belikan untuk abang satu bila dah besar nanti.”
Kata-kata itu membuatkan Putra menyambung tawanya.
“Putri ni banyak sangat angan
dia. Dah, abang nak balik dulu. Ambil kotak dengan tin kat rumah tu. Putri tunggu sekejap.” Putri akur.
Dia menantikan Putra di luar rumah.
Di dalam hati dia benar-benar
merasa kasihan dengan abangnya itu.
Insan yang selalu melindungi dan menjaganya. Dia tahu, ada masa Putra tidak pernah menyuap
nasi sehari. Segalanya adalah untuk
dia. Putra sentiasa memastikan Putri
tidak lapar. Putra juga sentiasa di sisi
untuk memberi sokongan dalam pelajarannya sehinggakan diri sendiri Putra
kadang-kala abaikan.
Sampai sahaja di lori Ramesh,
Putri dengan perasaan gembira meletakkan kotak di atas timbangan. Bila
melihatkan kotak yang sama tinggi dengannya membuatkan dia menyimpan harapan
mendapat sedikit keuntungan.
“Amboi Putri…. Hari ni banyak
bawa barang.” Tegur Ramesh yang sudah biasa dengannya. Putri menyambut kata-kata Ramesh dengan
senyuman yang tidak lekang dari bibirnya.
“Uncle, bagi lebih sikit boleh
tak? Nak beli gula-gula.” Ujar Putri dengan nada riang apabila beberapa
not merah dan biru mula bertukar tangan.
“Adoi adik mana boleh makan
gula-gula. Rosak gigi. Tak apa.
Ini uncle bagi seringgit buat beli roti tau.” Putri menyambut dengan perasaan gembira. Lepas buat beli roti krim. Kongsi dengan abang best juga ni.
“Thank you uncle.” Putri tersenyum puas dan disambut oleh Putra
yang bersalaman dengan Ramesh tanda terima kasih.
Putra dan Putri berlalu dari
tempat Ramesh dan berjalan beriringan meredah kesibukan petang di ibu kota
Kuala Lumpur. Limpahan manusia pada saat
itu adalah perkara biasa apabila tibanya waktu orang pulang dari tempat
kerja. Mereka kemudianya memasuki lorong
di antara bangunan dan kemudiannya mereka berehat sebentar di perhentian bas
sebelum meneruskan semula untuk pulang ke rumah.
Perjalanan dengan berjalan kaki
benar-benar meletihkan bagi Putri. Ada
masa ringan mulutnya untuk bertanyakan kepada Putra untuk menaiki bas atau
tren. Namun dia matikan sahaja
pertanyaan itu kerana dia tidak mahu menyusahkan Putra. Selagi dia berdaya untuk berjalan kaki dia
akan teruskan juga. Bukannya dia tiada
kaki untuk melangkah. Lagi pun berjalan
kaki kan satu senaman. Masih lagi terpahat
akan kata-kata abangnya itu.
Tiba-tiba Putri tersenyum.
Putra memandang kepada Putri
dengan pelik.
“Dah kenapa dengan adik abang
ni?”
“Abang, kenapa nama kita Putri dan
Putra? Sedangkan kita tak hidup macam
seorang Putera dan Puteri?” Putra
tersenyum.
“Itu yang Putri dok senyum dari
tadi?”
Putri mengangguk.
“Putri, walau apa pun nama kita
walau apa pun pangkat kita tetapi sama sahaja di sisi Allah. Allah memilih kita jadi seperti ini kerana
dia tahu kita kuat. Dan setiap apa yag
terjadi Allah ada alasannya yang tersendiri.”
Putri terdiam dengan kata-kata Putra itu.
“Tapi sampai bila kita kena hidup
macam ni?” Kali ini Putri pula yang memandang kepada abangnya.
“Sebab itu abang suruh Putri
belajar rajin-rajin. Kalau Putri berjaya
nanti bolehlah Putri mengubah hidup.
Abang cuma dapat membantu Putri dengan kata semangat. Dan abang akan cuba untuk memastikan Putri
berjaya.”
“Tapi abang?”
“Abang? Abang cuma menumpang bahagia adik abang
ni. Kalau Putri berjaya abang akan
tumpang gembira. Putri gembira abang pun
akan gembira juga. Abang tak ada apa nak berikan kepada Putri cukup dengan
pelajaran. Tapi…. Pelajaran kena seiring
dengan akhlak dan agama. Kalau semua tu
sama-sama dalam hidup Putri, abang yakin Putri boleh buat.”
“Tapi abang pun kena berjaya
juga.” Putra tersenyum dengan kata-kata Putri itu. Betapa tulusnya anak kecil itu.
“Pasal abang janganlah
risau. Abang boleh jaga diri abang. Untuk sekarang ni Putri tumpukan kepada
pelajaran. Jangan lupa solat lima waktu
walau mana saja kita berada. Dan abang yakin Allah ada bersama-sama dengan
kita.” Tersentuh akan kata-kat Putra itu membuatkan Putri mengalirkan air mata.
“La… kenapa pula ni?” Terkejut
Putra dengan titisan air mata Putri itu.
“Putri nak abang pun berjaya
juga.”
“Kan abang dah cakap tadi. Putri berjaya abang pun rasa abang berjaya
juga. Dah, jangan nak menangis. Rezeki kita masih jauh nak kita
fikirkan. Dah, jangan nak menangis. Jom, kita balik. Nanti lambat pula abang nak ke kedai abang
Saad nanti.”
“Abang tak penat ke? Siang dengan car wash. Malam kedai makan pula.” Putra tersenyum.
“Demi adik abang yang abang
sayang, apa pun abang sanggup tau.” Ujar Putra sambil menyeka air mata
Putri. Putri tersenyum dengan kata-kata
Putra itu. Dia memeluk erat lengan
abangnya. Rasa kasihnya kian erat.
“Sayang abang.” Ucap Putri.
“Kalau sayang abang, belajar
rajin-rajin tau. Tunjukkan pada orang,
insan macam kita ni boleh berjaya tanpa ibu dan ayah.” Putri mengangguk. Bangga dan rasa semangat melilit di segenap
urat darahnya.
Putri memandang kepada Putra
dengan rasa kasih. Betapa dia bangga
punyai abang seperti Putra. Dia menyimpan semangat untuk lebih berjaya dan
membuat Putra bangga dengannya. Dia tersenyum.
Abang, Putri sayang abang. Mereka kemudiannya berlalu membelah waktu
siang yang kian singkat.
“Betul ke Putri nak ikut abang
ni? Tak payahlah. Lagi pun abang balik lambat. Nanti Putri letih.” Putri menggeleng.
“Putri nak ikut juga.” Ujar
Putri. Entah mengapa malam itu dia
beria-ia untuk mengikut abangnya ke kedai makan. Entah mengapa juga hatinya tidak tenteram.
“Putri, janganlah macam ni. Abang nak pergi kerja ni. Putri duduk je kat rumah.” Pujuk Putra lagi.
“Putri tak nak. Putri nak ikut abang. Putri janji Putri tak kacau abang.” Putra
mengeluh. Serba salah pula dia dengan
renggekan Putri.
“Nanti Putri bosan.”
“Tak. Putri bawa buku. Putri boleh temankan abang. Putri boleh baca buku.” Putra memandang kepada Putri.
“Please….” Putri membuat muka simpatinya.
“Dah kenapa malam ni nak ikut
abang? Selalunya tak nak.”
“Saja je… lagi pun tiap-tiap
malam Putri tinggal sorang. Tak ada
siapa yang nak berlawan borak. Putri
tengok abang buat kerja pun dah cukup.”
Putra serba salah.
“Please….”
“Yelah… yelah tapi janji dengan
abang jangan kacau abang kerja, boleh?”
Putri mengangguk pantas.
“Putri janji. Putri tak kacau abang.” Putri tersenyum.
“Malam ni turn abang basuh
pinggan. Jangan nak main sabun sangat
ye.”
“Ye, Putri tahu. Putri baca buku je. Abang jangan risau sangatlah.” Putra tersenyum dengan janji adiknya itu.
“Jom, nanti marah pulak Pak Saad
kalau abang lambat.” Ajak Putra.
“Erm… yelah tu. Bukan ke abang ni pekerja kesayangan dia?”
“Yelah tu. Mana pulak dengar sumber-sumber tak
bertauliah ni?”
“Adalah….” Putri tidak menunggu lama. Dia kemudianya
bergegas keluar dari pintu rumah sambil membawa beberapa buah buku
sekolah. Sebelum abangnya itu bertukar
fikiran ada baiknya dia menunggu di luar rumah.
“Kalau kat sana nanti jangan
nakal-nakal tau. Kalau tidak lepas ni
jangan nak ikut abang lagi. Putra
memberi amaran.
“Okey, Putri janji dengan abang
Putri jadi budak baik. Putri tak akan kacau bang nanti.” Putri mengangkat
tangan. Tanda janji.
“Okey, abang tahu yang adik
abang ni boleh jaga diri.” Ujar Putra
tersenyum.
Lalu mereka meredah kepekatan
malam menuju ke kedai Pak Saad untuk Putra mencari sesuap nasi bagi meneruskan
hidup hari esok. Putri bernyanyi kecil
sambil berjalan beriringan dengan abangnya.
Terasa seronok pula bila dia dapat mengikut Putra ke tempat kerja.
Sampai sahaja di Kedai Pak Saad
Putra kemudiannya mengambil tempat mencuci pinggan di belakang kedai. Putri kemudiannya mencapai bangku dan
meletakkan beg di atas meja yang disediakan.
Dia segera membuka buku dan mengulangkaji tanpa menghiraukan Putra yang
bertungkus lumus mencuci pinggan dan cawan.
Sesekali Putri memandang kepada
Putra dan bertanyakan tentang perkara yang tidak difahami. Putra dengan senang cuba membantu tanpa
meninggalkan kerjanya. Namun sedang
Putra mencuci pinggan dengan sayup dia mendengarkan suara orang meminta
tolong. Suara itu kian kuat menyapa
cuping telingannya.
Putra berpaling bila melihatkan
dua orang remaja sedang berlari sambil membawa beg dan di susuli dengan seorang
lelaki yang berumur separuh abad. Putra
sedar pasti ada sesuatu yang telah terjadi membuatkan lelaki itu mengejar. Putra tidak menunggu lama. Dia kemudiannya mengejar kedua-dua remaja
tersebut. Apabila dia sempat menarik
salah seorang yang juga sedang membawa beg terus dia merampas beg dan terus dia
melemparkan kepada lelaki separuh abad itu.
Dia tahu sudah tentu beg itu adalah kepunyaan lelaki itu.
“Amboi, nak tunjuk baik pula kat
sini ye.” Ujar salah seorang remaja
lelaki itu.
Putra tergamam seketika apabila
kedua-dua remaja itu mula mengepungnya.
Dia memerhatikan kedua-dua remaja itu yang ternyata wajahnya mempamerkan
wajah yang bengis. Belum sempat Putra
berbuat apa, penumbuk sulung sudah pun hinggap di mukanya dan disusuli
tumbukkan yang bertalu-talu.
“Abang!” Putri menjerit saat melihatkan Putra dipukul
dan ditumbuk. Air matanya pantas
menghiasi wajahnya.
Kali ini Putri tergamam saat
pisau terbenam di perut abangnya.
“Polis! Polis!” Laung lelaki
separuh abad itu. Kedua-dua remaja itu
melarikan diri. Putri berlari
mendapatkan Putra dan disusuli lelaki itu.
“Kita hantar dia ke
hospital. Mari ikut pakcik.” Dengan bantuan orang yang berada di situ
Putra kemudiannya dikejarkan ke hospital.
Air mata Putri terus menitis tanpa henti. Sepanjang perjalanan dia hanya mampu berdoa
agar tiada apa-apa yang terjadi kepada Putra.
Sampai sahaja di hospital Putra
di masukkan ke unit kecemasan.
Pendarahan yang berlaku benar-benar menakutkan hati Putri. Fikirannya mula melayang. Terbit fikiran yang bukan-bukan tentang
abangnya. Dia tidak dapat memikirkan
jika tanpa kasih dan sayang seorang abang.
“Anak…” Putri berpaling.
“Jangan menangis. Pakcik akan pastikan abang selamat. Panggil saja Pakcik Shahrul.” Dato’ Shahrul memperkenalkan diri.
“Putri.” Dato’ Shahrul masih setia dia sebelah anak
kecil itu. Dia tersenyum tawar. Hatinya masih lagi dipagut rasa salah dan
takut.
“Sedap nama. Putri ye.
Putri banyakkan sabar ye. Kita
doa sama-sama abang selamat.” Putri
mengangguk. Dia bersila dan menyeka air
mata yang masih berbaki.
“Kalau abang tak selamat?” Pertanyaan dari Putri itu benar-benar
membuatkan Dato’ Shahrul terdiam. Dia
memandang sekilas kepada Putri.
“Putri jangan fikir yang
bukan-bukan. Pakcik yakin yang abang
selamat. Putri kena banyak doakan untuk
dia.” Pujuk Dato’ Shahrul.
“Kalau abang tak ada kat mana
Putri nak pergi?”
“Putri ada ibu dan ayah?”
Putri menggelengkan kepala.
“Putri cuma ada abang je. Kalau
abang tak ada Putri je yang hidup seorang.”
Kali ini air mata Putri kian laju.
Melihatkan bilik pembedahan hatinya dilanda sayu. Serta-merta kenangan bersama-sama dengan Putra
jelas memenuhi ruang mata. Susah senang
mereka sering bersama. Sakit dan pening mereka tanggung bersama.
“Putri jangan bimbang. Kalau apa-apa terjadi dengan abang pakcik
akan jaga Putri. Lagi pun pakcik ada seorang anak perempuan. Lebih kurang sebaya abang.” Terang Dato’ Shahrul. Sedaya upaya untuk dia memujuk Putri.
Putri melemparkan senyuman tawar
kepada lelaki itu. Dia cuba melihat akan
kejujuran di riak wajah Dato’ Shahrul.
Putri menanti dengan penuh sabar.
Dia tidak putus berdoa kepada abangnya itu agar selamat. Penantian dirasakan terlalu lama membuatkan
Putri terlena di atas kerusi. Dato’
Shahrul terus merebahkan badan Putri dan menjadikan pehanya sebagai alas kepala
Putri. Dia turut merasa tida senang
selagi Putra msaih di dalam bilik pembedahan.
Dia juga turut memanjatkan doa agar insan yang membantunya itu selamat.
Setelah 2 jam bertarung nyawa,
akhirnya Putra selamat menjalani pembedahan.
Dato’ Shahrul memanjat rasa syukur yang tidak terhingga. Badan Putri dikejutkan. Putri merasa amat gembira dengan berita yang
baru sahaja didengari.
“Abang selamat, pakcik.” Ujar Putri dengan sedikit nada gembira. Dato’ Shahrul mengangguk. Dia juga gembira saat doktor menyampaikan
berita itu.
“Dia perlukan rehat. Dato’
boleh melawat dia esok.” Putri
sedikit hampa dengan penerangan doktor itu.
Hatinya bagaikan melonjak untuk bertemu dengan abangnya. Namun dia sedar, Putra perlukan rehat. Dia kemudiannya melangkah perlahan berjalan
keluar dari hospital itu. Namun hatinya
bagaikan bergetar. Dia merasa takut
dengan tiba-tiba. Selama ini dia selalu
sahaja dengan abangnya. Dan kini, dia
bersendirian. Dia cuba untuk mengimbas
kembali perjalanan untuk dia kembali ke rumah. Kemudian dia sedar, tempatnya
adalah di hospital bersama-sama dengan abangnya.
Putri terkejut saat bahunya di
tepuk perlahan. Dia mendongak. Dato’ Shahrul melemparkan senyuman kepada
Putri. Dia sedar anak kecil itu dalam
ketakutan. Meredah hitam pekat dinihari
bukan sesuai dengan usianya.
“Mari, ikut pakcik balik rumah
pakcik.” Terkejut dengan pelawaan Dato’
Shahrul itu membuatkan Putri menggelengkan kepala. Dia tidak mahu meninggalkan Putra.
“Putri nak tinggal sini. Dengan
abang.” Ulas Putri.
“Pakcik tahu Putri letih dan
lapar kan?” Putri menundukkan kepalanya.
Dia memegang perutnya yang memang sedia kelaparan.
“Tapi Putri tak nak tinggalkan
abang. Putri nak tidur sini. Putri nak
tunggu abang baik.” Dato’ Shahrul memandang Putri dengan rasa kasih. Betapa dia kagum dengan pertalian Putra dan
Putri. Betapa kedua-dua beradik ini
saling kasih dan sayang.
“Pakcik tahu, Putri jangan
bimbang esok kita tengok abang. Pakcik
berjanji.” Putri menggelengkan kepala. Walau niat Dato’ Shahrul itu baik namun pesanan dan ingatan
yang sering diberi oleh Putra sering kali bermain di fikiran. ‘Jangan percaya dengan orang yang kita tak
kenal.’
Dato’ Shahrul tahu akan
kanak-kanak itu takut. Namun dia sedar
Putri perlukan rehat yang secukupnya.
Dato’ Shahrul memandang ke sekelilingnya. Seolah mencari.
“Abang,” Dato’ Shahrul berpaling. Kelihatan Datin Salina yang bergegas kepada
suaminya.
“Abang tak ada apa-apa?” Dato’
Shahrul menggelengkan kepala. Datin
Salina yang mendapat berita dari suaminya terus menuju ke hospital.
“Abang Putri nilah yang
selamatkan abang.” Putri segera
mendapatkan Datin Salina dan bersalam dengan wanita itu.
Datin Salina melemparkan
senyuman kepada Putri. Betapa tulusnya
anak kecil itu. Getus hati Datin
Salina.
“Abang nak hantar dia balik ke?”
“Putri ni anak yatim piatu. Abang nak hantar dia balik pun abang rasa
kesian. Itu yang abang ingat nak ajak
dia balik rumah kita.” Ujar Dato’
Shahrul.
“Putri ikut mama balik?” Kali
ini Datin Salina pula yang memujuk.
Panggilan yang terbit di bibir Datin Salina membuatkan Putri memandang
kepada anak mata Datin Salina.
“Nanti Putri boleh berkawan
dengan kakak Balqis.”
“Tapi… Putri nak temankan
abang. Kesian abang sorang-sorang.” Putri masih lagi dengan pendirianya. Berat hatinya untuk melepaskan Putra.
“Tak apa…. Kat sini ada doktor
dengan nurse yang boleh tengokkan abang.
Kita balik dulu, berehat. Esok
pagi-pagi kita tengok abang.” Pujuk
Datin Salina. Putri diam. Mencongak untuk mengikut pasangan itu atau
tidak.
“Mari, Putri jangan bimbang.
Mama janji kita tengok abang esok.”
Putri memandang pasangan itu silih berganti. Kemudian dia memandang ke belakang.
“Janji?” Dato’ Shahrul dan Datin Salina
mengangguk.
Putri kagum dengan kemewahan
yang dinikmati oleh pasangan itu.
Sepanjang hidupnya tidak pernah dia menjejaki rumah seperti itu. Dia memandang sekeliling dengan penuh
teruja. Kemudia dia merasa kekok bila
dia di situ. Ibarat dia tidak layak untuk
melangkah masuk ke rumah itu.
“Mari, kita makan dulu. Mama suruh Mak Bedah siapkan makan untuk
Putri.”
“Tak apalah…. Putri tak
lapar.” Entah mengapa dia merasa segan
pula. Tidak tahu pula insan yang baru
dikenalinya itu benar-benar orang yang berada.
“Mama tahu Putri lapar. Mama suruh Mak Bedah masak sikit untuk
Putri. Sebelum tu mama bawa Putri ke
bilik. Putri boleh mandi dulu.”
“Alamak Sal, baju dia?”
“Tak apalah bang. Sal cuba selongkar kalau ada baju Balqis yang
kecik-kecik.” Balqis? Tadi dia diberitahu akan Balqis lebih kurang
sebaya dengan abangnya. Mungkin dia baik
macam kedua ibu-bapanya. Telahan
Putri.
Sepanjang malam Putri tidak
kering dengan air mata. Sepanjang malam
itu juga Putri memanjatkan doa agar Putra di panjangkan usia. Walau pun dia merasa selesa di dalam bilik
yang serba mewah itu namun tidak memberikan ruang tidur buat dirinya. Dia merasa tidak sabar untuk menantikan hari
esok untuk melawat Putra.
Keesokkan harinya Putri turun
dengan rasa letih yang amat sangat.
Namun dia perlu untuk kuatkan juga supaya dia boleh ke hospital selepas
ini. Cukuplah untuk dia menumpang barang
semalam di rumah mewah itu. Saat dia
melangkah pada anak tangga terakhir dia disapa oleh Datin Salina.
“Jom sarapan sama.” Ajak Datin Salina sambil memberi ruang. Pelawaan itu disambut dengan senyuman dari
Putri. Dia berpaling ke kiri saat dia
terlihatkan susuk tubuh yang sedang memakai pakaian sekolah menengah.
“Ini mama kenalkan anak mama
Balqis.” Putri menghulurkan tangan untuk
bersalam namun tiada reaksi.
“Qis tak nak kotorkan tangan
ni.” Ujar Balqis tanpa memandang kepada
Putri. Bagaikan ada dinding antara
mereka.
“Qis, tak baik cakap macam
tu. Putri ni anak yatim piatu. Cuba Qis fikir kalau Qis ditempat dia.”
“Qis tak akan jadi miskin
seperti dia sampaikan nak menumpang di rumah orang dan….” Belum sempat Balqis
meneruskan kata-kata terbuntang mata kerana melihatkan bajunya membaluti tubuh
Putri. Membara hati Balqis bila melihatkan Putri memakai bajunya.
“Mama! Apa ni? Mama bagi dia pakai baju Qis?” Datin Salina mengeluh melihatkan tingkahlaku
Balqis.
“Lepas ni Qis nak mama buang
baju tu. Qis tak nak baju tu dalam rumah
ni.”
“Qis…”
“Dah… Qis nak pergi dulu. Semak je mata Qis pagi-pagi ni.” Balqis bangkit dari tempat duduk. Dia melangkah dan melanggar kasar Putri
menyebabkan Putri berpusing. Sedih
hatinya bila dia disindir sebegitu. Hina
sangatkah dia sebagai anak yatim piatu?
“Putri, jangan ambil hati dengan
kakak Balqis tu. Mama minta maaf.”
“Tak apa. Putri sedar siapa Putri. Lepas ni Putri nak pergi hospital. Nak tengok abang. Putri nak ucap terima kasih sebab beri
tumpang pada Putri. Malam ni Putri tidur
dengan abang je lah.” Dato’ Shahrul mati
dengan kata-kata.
“La… janganlah macam ni
Putri. Mama belum nak kenal dengan Putri
lagi. Putri tinggal sini sampai abang
keluar dari hospital, nak?” Putri menggeleng. Tinggal dengan Balqis yang membenci
dirinya? Memang sah cari penyakit.
“Putri, dengar sini pakcik
cakap.” Putri berpaling.
“Bahaya Putri tinggal seorang di
rumah tu. Betul cakap mama tu. Tinggal dengan kami buat sementara
waktu. Nanti bila abang dah sihat,
pakcik janji pakcik akan hantar Putri dengan abang balik.” Putri terdiam. Mungkin ada benarnya akan kata-kata itu.
“Putri tak nak menyusahkan
pakcik dengan mama.” Datin Salina
tersenyum mendengarkan akan kata-kata Putri itu. Sejuk saat anak kecil itu memanggilnya dengan
panggilan mama. Dari semalam dia
teringin untuk berjumpa dengan insan yang telah menyelamatkan suaminya dari
dirompak.
“Kita pergi jumpa dengan abang
lepas ni ye. Siapa nama abang Putri?”
“Putra.”
“Sedap nama tu. Putra dan
Putri. Mesti ibu dan ayah Putri
berbangga punya anak macam Putri dan Putra.”
Ujar Datin Salina jujur. Entah
mengapa rasa kasih mula melimpah saat dia melihatkan Putri sejak malam
tadi. Redup sahaja sepasang anak mata
milik Putri itu.
“Putri sarapan dulu. Lepas tu mandi dan kemudian kita ke hospital
melawat abang.” Putri senyum dan cuba
menahan sebak di dada. Mana mungkin dia
akan melupakan budi insan yang sudi memberi perlindungan kepada dirinya saat
dia keseorangan.
“Dah, jangan sedih. Kita doakan yang baik sahaja kepada
abang. Cepat sarapan. Nanti lambat pulak kita ke hospital.” Pujuk
Datin Salina. Putri mengangguk. Dia segera menarik kerusi dan bersedia untuk
menikmati sarapan pagi itu.
Putri melangkah perlahan saat
tiba di pintu wad Putra. Tangannya
gemetar. Sebaik sahaja dia masuk ke
dalam wad dia melihatkan Putra yang sedang tidur. Menurut jururawat abangnya itu sudah pun
sedar subuh tadi. Putri melabuhkan
punggung di sisi Putra. Air matanya tumpah
lagi. Dato’ Shahrul dan Datin Salina
hanya menjadi pemerhati. Mereka rasa
kagum dengan pertalian yang terjalin di antara kedua-dua beradik itu.
Putra tersedar saat dia
merasakan kehangatan genggaman dari Putri.
Dengan perlahan dia membuka mata.
“Putri,” Putri tersentak. Dia melemparkan senyuman
kepada Putra. Semanis yang boleh.
“Abang…” Air mata yang mengalir disapu perlahan. Putra menyambut senyuman Putri dengan
senyuman bermakna buat Putri. Di dalam
hatinya begitu risau jika terjadi apa-apa terhadap dirinya. Putrilah menjadikan semangatnya kuat untuk
sedar lebih awal lagi.
“Al-hamdulillah…” Dato’ Shahrul memanjat kesyukuran apabila
melihatkan Putra sudah mulai sedar.
“Abang… jangan tinggalkan
Putri.” Putra menggeleng perlahan.
“Takkan abang nak tinggalkan
adik abang.” Putri tersenyum.
“Banyakkan berehat, Putra.” Putra berpaling saat dia mendengarkan suara
yang begitu asing buat dirinya.
“Saya nak ucapkan terima kasih
kerana telah selamatkan saya.” Dato’
Shahrul mendekati katil Putra.
Putra cuba mengingati. Pada malam kejadian dengan suasana gelap dia
tidak perasan akan wajah insan yang telah meminta pertolongan darinya. Putra
tersenyum saat Dato’ Shahrul memegang bahu kanannya.
“Putri tinggal dengan pakcik
malam tadi. Abang tak marah kan?” Putra menggeleng. Semejak dia tersedar lagi dia teringatkan
Putri. Hatinya sentiasa berlegar dengan
soalan yang sama. Selamatkah Putri. Di manakah dia?
“Terima kasih, encik.”
“Dah, jangan banyak sangat
bergerak. Putra masih lagi belum sembuh
sepenuhnya. Nanti Putra jangan
risau. Papa akan uruskan
segalanya.” Putra tergamam. Papa?
Apa maksud dari kata-katanya?
“Papa?”
“Sudah, Putra rehat. Nanti papa akan cerita segalanya.” Putra senyap.
Dia sendiri sebenarnya tiada daya untuk berkata-kata. Putri juga terkejut dengan kata-kata Dato’
Shahrul itu.
“Hai, abang. Nak juga?”
celah Datin Salina tiba-tiba.
“Yelah…. Sal ada Putri,
kan?” Datin Salina tersenyum dengan
ucapan yang keluar dari bibir Dato’ Shahrul.
“Putri… Putra….. panggil kami
papa dan mama ye.” Putra dan Putri
saling berpandangan. Dato’ Shahrul dan
Datin Salina tersenyum. Hati mereka
terpaut untuk menjadikan Putra dan Putri sebagai anak angkat.
Putra merasa kekok saat dia
melangkah masuk ke dalam rumah mewah milik Dato’ Shahrul. Dia melabuhkan punggung di atas sofa dengan
perlahan. Tusukan pisau yang dialaminya
masih belum sempuh sepenuhnya membuatkan dia sukar untuk bergerak lebih.
“Papa tinggal bertiga. Papa, mama dengan Balqis. Anak kami.
Sekarang ni dia masih di sekolah lagi.
Petang baru balik.” Putra
mengangguk.
“Papa, Putra rasa kami tak layak
tinggal di rumah ni. Izinkan kami pulang
ke rumah kami, papa.” Putra menggenggam
tangan Putri. Putra tahu akan niat
pasangan itu baik. Namun dia perlu sedar
siapa dirinya. Bukan insan terpilih
untuk tinggal di rumah itu.
“Putra, papa tahu perasaan
Putra. Papa berharap sangat yang Putra
dengan Putri tinggal bersama-sama dengan kami.
Lagi pun Putra masih belum sihat lagi.”
“Tapi…”
“Papa tahu yang Putra bekerja di
car wash siang hari dan di kedai makan waktu malam. Untuk masa sekarang ni takkan Putra nak
bekerja.”
Putra tunduk. Dia kemudianya memandang kepada Putri. Adiknya itu sudah beberapa hari tidak
bersekolah. Ada benarnya akan kata-kata
Dato’ Shahrul itu.
“Baiklah, demi adik saya. Tapi…”
“Biarkan kami tinggal di rumah
belakang tu papa.” Ujar Putra
perlahan. Sebelum masuk ke dalam rumah
itu dia sudah menyedari akan rumah kecil di belakang villa itu.
“Tapi…. Rumah tu rumah
stor.”
“Kalau nak tolong kami, biarkan
kami tinggal sana. Kami lebih senang
tinggal sana.” Dato’ Shahrul memandang
kepada Putra. Dia berbelah bagi. Kalau tidak diturutkan Putra akan kembali ke
rumahnya. Akhirnya Dato’ Shahrul
bersetuju.
“Dan satu lagi, papa nak Putra
sambung belajar.” Putra tersentak. Sudahlah diberi perlindungan. Dan sekarang?
“Maksud papa?”
“Papa tahu yang Putra mendapat
keputusan cemerlang. Izinkan papa tebus
segala budi Putra.”
“Saya tidak minta balasan,
papa. Sudah ada tempat saya berlindung adik
beradik sudah cukup baik.”
“Papa berharap sangat,
Putra. Jangan hampakan harapan
papa.” Putra terdiam. Hatinya berat untuk menyambut akan permintaan
Dato’ Shahrul.
“Tapi dengan satu syarat.” Bersinar mata Dato’ Shahrul dengan kata-kata
Putra itu.
“Saya kerja dengan papa.” Dato’ Shahrul mengangguk.
“Baiklah. Papa setuju. Nanti Putra kalau Putra sudah sihat, papa
akan minta Putra ambil lessen kereta.
Putra boleh jadi pemandu kepada papa.
Dalam masa yang sama papa harap Putra akan sambung belajar.”
Putra mengangguk perlahan dan
terseyum.
Sepanjang Putra dan Putri
tinggal bersama-sama dengan Dato’ Shahrul,Balqis bagaikan kasih sayangnya mula
berbelah bagi. Sakit hatinya dengan
Putra dan Putri.
“Hey, korang berdua ni asal dari
lorong mana ye? Sampai terhegeh-hegeh
dengan menumpang orang. Mak dengan ayah
korang tak ajar ye.” Tersentak Putri
dengan kata-kata Balqis di suatu petang itu.
Sudahlah datang tak bagi salam, ini sergah dah macam orang hilang akal
je.
“Kakak tak baik tau cakap macam
tu dengan kami. Papa yang suruh tinggal
sini. Lagi pun abang kerja dengan papa.”
Putri sedikit terasa dengan kata-kata Balqis itu.
“Apa kakak-kakak? Bila masa pulak aku ada adik? Ke korang nak
menumpang sini sebab nak senang, kan?” Selamba sahaja Balqis menghamburkan
kata-kata itu. Kali ini Putra pula yang
terasa hati. Kedatangannya bukan untuk
memisahkan kasih sayang Balqis dan keluarga.
Kerana itulah dia sanggup tidak tinggal bersama. Dan kerana itulah dia
berdegil untuk bekerja dengan Dato’ Shahrul.
Kalau dia tidak bekerja sudah tentu Balqis akan fikirkan tentang dirinya
yang bukan-bukan.
“Kami tahu kami menumpang. Kami sedar akan diri kami. Tapi kami tidak pernah untuk menumpang senang
apalagi nak menumpang kasih. Balqis
janganlah risau. Kami tak akan rampas
kasih sayang papa dan mama.” Putra
meluahkan apa yang terbuku di hati.
Selama ini Balqis memang dingin
dengan mereka. Bila bertemu tidak pernah
untuk melemparkan senyuman. Kalau makan
Balqis sanggup untuk bangun dari makan bersama.
Kalau Putra dan Putri berada di ruang tamu Balqis akan bangun dan naik
ke bilik. Ada masa Putra dan Putri
terasa hati. Namun untuk mencari sesuap
nasi Putra telan semuanya. Demi untuk
membiayai tanggung jawab untuk Putri dia ada masa dia pekakkan sahaja telinga
dengan sindiran dari Balqis. Putra tahu sampai masanya dia akan keluar dari
keluarga itu.
PUTRA sibuk mencuci kereta
setelah dia membersihkan di dalamnya.
Dia ditemani oleh adiknya yang juga sedang membersihkan belakang
kereta. Perilaku mereka diperhatikan
oleh Balqis. Hatinya meluap-luap dengan
perasaan benci. Semenjak kehadiran Putra
dan Putri segalanya perlu dikongsi. Dia
benci untuk berkongsi. Terutama
berkongsi kasih!
“Ini cuci kereta ke nak bermain
sabun?” Tegur Balqis kepada Putri. Terkejut Putri bila dia disergah begitu.
“Mana ada Putri main sabun. Putri tolong abang je.”
“Ha, Menjawab. Hey, Putra. Aku nak keluar. Kau sediakan kereta.” Putra yang sedang mencuci meletakkan kain ke
dalam baldi.
“Yelah. Balqis nak kemana?”
“Nak kemana bukan urusan
kau. Aku kata sediakan kereta, buat
jelah.” Putra mengangguk.
“E… macam singa betina.” Bisik Putri perlahan kepada Putra.
“Apa kau kata?”
“Er… tak ada apa.” Balqis
berlalu. Meninggalkan Putra dan Putri.
“Adik ni…. jangan cakap macam
tu. Tak baik tau. Kalau dia dengar kecil
hati dia.” Tegur Putra.
“Yelah…. Dari dulu dia memang
tak suka dengan kita.”
“Kita kan menumpang di
sini. Mesti dia rasa tak selesa. Cepat siapkan. Nanti marah lagi dia tu.”
“Siapalah malang dapat dia tu.”
Putra menjengkilkan matanya.
“Dah, jangan nak membebel
lagi. Tolong abang. Abang pun belum sembahyang asar lagi.” Putri
mengangguk. Dia kemudiannya menyambung
kerja dengan seberapa pantas.
Putra membelok kereta di
perkarangan masjid. Jam sudah
menunjukkan ke angka 740 malam. Dia
mesti menunaikan tanggung jawabnya. Dia
cuba melihat Balqis melalui cermin belakang. Puas juga dia menemani
Balqis. Nak ke situ nak ke sana. Akhirnya tiada apa yang belinya. Putra tahu Balqis hanya cuba untuk
mempermainkannya.
“Saya nak sembahyang maghrib
sekejap. Balqis nak keluar ke?” Tanya
Putra.
“Bawa saya balik. Saya bukannya nak ke sini.”
“Sekejap je. Saya takut tak sempat sampai rumah. Lagi pun jalan tengah jammed.” Balqis memeluk tubuh. Wajahnya berubah kelat.
“Engkau saja nak beri sakit hati
aku, kan?”
“Tak pernah terlintas difikiran
saya nak sakitkan Balqis. Ini
tanggungjawab saya sebagai seorang islam.
Walau apa pun saya tetap dengan tanggungjawab saya.” Mendidih hati Balqis mendengarkan kata-kata
Putra itu.
“Marilah.” Ajak Putra lagi.
“Saya kata saya tak nak. Bawa saya baliklah.” Putra tersenyum
sinis.
“Tak apalah kalau Balqis tak
nak. Ini ada kunci kereta. Kalau nak balik boleh balik sendiri. Saya keluar dulu. Kunci kereta.”
“Tak nak.”
“Kalau tak nak tak apa. Saya pergi sembahyang dulu. Minta hulurkan kain pelikat saya.” Pinta
Putra.
“Ambillah sendiri.” Balqis tidak
mahu mengalah.
“Okey,” Putra keluar dan membuka pintu belakang untuk
mengambil kain pelikat yang memang tersedia ditempat duduk belakang. Putra melemparkan senyuman kepada Balqis.
Saja untuk memberikan sakit hati kepada gadis itu.
“Saya cakap betul ni. Kunci kereta tu. Bahaya.” Pesan Putra sekali lagi. Risau juga hatinya jika terjadia apa-apa
kepada Balqis. Tawwakal sajalah.
Saat sampai di rumah Balqis
menghempaskan badan di atas sofa. Geram
hatinya apabila melihatkan wajah tenang milik Putra saat keluar dari masjid. Dato’ Shahrul dan Datin Salina yang berada di
ruang tamu terkejut dengan perilaku anak gadisnya. Sudah penat dia menasihati Balqis. Namun bagaikan masuk telinga kanan dan keluar
telinga kiri. Salah mereka juga kerana terlalu manjakan
anak tunggalnya itu sehinggakan Balqis tidak pernah mendengar nasihat mereka.
“Dah kenapa pulak ni? balik-balik je muka dah monyok macam tu. Bukan ke kata nak pergi shopping. Dah dapat pergi macam ni pula.” Tegur Dato’ Shahrul.
“Tu… driver papa tu.”
“Putra,” Dato’ Shahrul
membetulkan.
“Apa-apalah. Ada ke patut Qis
suruh balik dia tak nak?”
“Kenapa? Dia pun nak shopping juga ke?” Balqis menggeleng.
“Dah tu?”
“Ada ke patut Qis suruh balik
dia boleh singgah kat masjid pulak. Benggang betul.” Terluah juga apa yang terbuku di hatinya
semenjak dari tadi.
“Okey le tu. Bagus tu. Nak marah buat apa. Bukannya dia bawak Qis pergi penjara.” Saja Dato’ Shahrul mengapi-apikan Balqis.
“Papa ni saja tau nak tambahkan
sakit hati Qis ni.”
“Eloklah macam tu. Yang Balqis ni bila nak berubah. Mama ingat lepas kolej nak juga kerja. Ini tidak.
Asyik nak shopping je. Cuba
tengok Putra dengan Putri tu.”
“Mama pun sama dengan papa. Mama dengan papa lebih sayangkan anak pungut
tu berbandingkan anak sendiri.” Berubah
wajah Dato’ Shahrul mendengarkan kata-kata yang dilontarkan oleh Balqis.
“Qis! Papa tak pernah ajar anak papa cakap yang
bukan-bukan.”
“Ye, memang betul. Papa dengan mama lebih sayangkan mereka dari
Qis!” Balqis berlari meninggalkan orang
tuanya. Hatinya sakit dan sedih.
Balqis merenung ke luar
jendela. Kelihatan Putra dan Putri
sedang duduk berbual. Hatinya kian sakit
dengan hubungan dua beradik itu. Putri
yang terpandangkan Balqis dari atas melambaikan tangan.
“Jomlah kakak.” Jerit Putri.
Balqis menggeleng. Dia terus masuk ke dalam dan menutup jendela.
Puas dia melarikan diri dengan
dua beradik itu. Namun kian dia
melarikan diri hatinya merasa tidak keruan.
Dan saat dia kian membenci kian rapat pula kedua-dua beradik itu. Balqis merebahkan badannya dan telefon bimbit
dicapai. Nombor telefon Aris didail. Erm… telefon Aris lagi baik. Hilang sakit hati ni.
“Kak Balqis tu makin cantik, kan
bang.” Ujar Putri tiba-tiba.
“Maksud adik?”
“Tak lama lagi dapat menantulah
papa dengan mama.”
“Ke situ pulak.” Putri ketawa.
“Dia kan dah ada buah hati.”
“Ye ke? Elok lah tu.”
“Anak orang kaya juga.”
“Erm…. Sepadanlah tu. Orang kaya
dengan orang kaya, kan abang.” Putra
tersenyum dengan kata-kata Putri itu.
“Dah, jangan nak banyak cakap
sangat. Nanti dengar dek kakak Balqis tu
dia ingat yang bukan-bukan pulak. Pergi
tidur. Esok ada kelas kan?”
“Ala… abang nak dok sini
jap.”
“Masuk tidur!”
“Okey….okey….” Putra meninggikan
suara dengan nada manja.
BALQIS bangkit setelah membasuh
tangan. Hidangan malam itu sedikit pun
tidak memberi nafsu untuk dia menjamu selera.
Seleranya mati bila Putra dan Putri turut serta menikmati hidangan malam
itu.
“Papa, Qis nak keluar sekejap.”
“Yelah. Putra lepas ni sediakan kereta.” Putra mengangguk.
“Tak payahlah papa. Aris jemput Qis sekejap lagi.”
“Nak pergi mana malam-malam
macam ni Qis. Nak keluar dengan Aris
pulak tu. Qis, tak payahlah Aris
jemput. Biar Putra yang hantar Qis.” Dato’ Shahrul merasa berat hati untuk
melepaskan anak gadisnya itu. Bukan
sekali dua dia mendengar cerita buruk tentang Aris. Namun bila Balqis menyintai lelaki itu dia tidak boleh berbuat apa.
“Qis dah telefon Aris. Sekejap lagi dia sampai. Papa dengan mama tak perlu tunggu Qis. Nanti pandai-pandailah Qis balik.”
“Qis, dengarlah cakap papa
tu. Mama rasa baik Putra temankan Qis.”
Datin Salina pula bersuara.
“Kan Qis dah cakap tak
payah. Qis dah besarlah mama.”
“Sebab Qis dah besarlah mama
risau. Qis tu anak dara. Anak dara tak
elok keluar malam.” Ujar Datin
Salina.
“Suka hati mamalah. Qis naik dulu. Nak bersiap.”
Balqis berlalu tanpa memandang kepada Putra dan Putri.
Putra memandang sekilas kepada
Balqis. Kemudiannya dia memandang kepada
kedua orang tua angkatnya. Entah mengapa
hatinya juga merasa tidak senang. Saat
dia memandangkan Balqis, gadis itu sudah pun menukar baju. Seketika itu dia mendengar bunyi hon
kereta. Putra tidak mahu tunggu
lama. Dia turut membasuh tangan.
“Putra, nak kemana tu?”
“Papa jangan risau. Putra minta diri dulu.” Putra berlalu dan segera mencapai kunci kereta. Dia terus menghidupkan enjin kereta dan
meninggalkan villa itu. Kereta dihadapan
menjadi tumpuan. Dia tidak mengekori
terlalu dekat kerana tidak mahu disedari pasangan itu terutama sekali dengan
Balqis.
Putra kemudiannya berhenti
kira-kira seratus meter dari sebuah rumah mewah tempat kereta yang diekorinta
berhenti.
Balqis memandang kepada
Aris. Dia cuba mendapatkan penjelasan
dengan teman lelakinya itu.
“Kata nak pergi makan. Ni yang bawa Qis kat sini kenapa?” Aris
memandang Balqis dengan pandangan nakal.
“Jom, masuk rumah I.
Ala… kita makan kat rumah lagi best.
Kalau nak Qis masakkan untuk Aris.
Jomlah lepak.” Tangan Aris mula
berjalan merayap melingkari bahu Balqis.
“You buat apa ni Aris?”
Balqis cuba menepis tangan Aris.
Namun Aris lebih kuat untuk mengambil kesempatan terhadap Balqis. Balqis cuba untuk meloloskan dirinya.
“Please Aris jangan buat macam ni dengan aku.”
“Aku dah lama teringinkan
kau. Marilah…. Masuk rumah I.
Kita berdua je. Tiada siapa
lagi. Janganlah segan.” Balqis sedaya upaya untuk menolak badan Aris
namun Aris kian bertindak ganas.
“Tolong aku Aris…” Rayu
Balqis. Air matanya tumpah. Nasihat ayahnya mula bermain
difikirannya.
“Marilah sayang…”
“Tolong!!!!!” Jerit Balqis.
Dengan penuh kudrat dia cuba untuk melepaskan diri.
“Tolong!!!” Prang!!!! Cermin
tingkap pecah.
“Bangsat kau!” Tangan Putra terlebih dahulu menghinggapkan
penumbuk sulung kepada Aris. Aris
membuka pintu kereta. Dia cuba untuk
berlawan dengan Putra. Maka berlakulah
pergelutan di antara Putra dan Aris.
Balqis segera keluar dari pintu
kereta dan menjauhkan diri dari pergelutan itu.
Dia memanjat rasa kesyukuran kerana dia telah diselamatkan oleh Putra.
Kalau Putra lambat menyelamatkannya sudah tentu dia akan menjadi kerakusan
nafsu Aris. Dia berdoa agar tiada
apa-apa yang akan berlaku kepada Putra.
“Lain kali kalau aku tahu kau
buat yang tidak senonoh, tahulah nasib kau lepas ni.” Putra memberi amaran sebelum dia meninggalkan
Aris yang sudah pun terbaring.
“Kita putus Balqis.” Ujar Aris yang mengesat darah yang menghiasi
hujung bibirnya.
“Lebih baik! Dan aku pun tak ingin ada kekasih seperti
kau.” Balqis berdiri di belakang
Putra. Dia masih takut jika Aris akan
mengapa-apakan dia.
“Balqis tak ada apa-apa?” Tanya Putra.
Balqis menggeleng.
“Kita balik.” Pinta Balqis.
“Mari, papa dengan mama risau
kat rumah tu.” Ajak Putra.
Sepanjang perjalanan Putra tidak
bersuara. Memandang kepada Balqis pun
tidak. Dia hanya melayani pemanduan
dengan tenang. Balqis memandang sekilas
kepada Putra. Ringan rasanya untuk dia
meminta maaf mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu, namun entah mengapa
dia tidak betah. Akhirnya dia menjadi
pemerhati kepada insan yang bernama Putra itu.
Sampai sahaja di rumah Dato’
Shahrul terus menerpa kepada Putra yang sudah pun bengkak di mata kerana
ditumbuk oleh Aris tadi. Baru kini Putra
terasa sengalnya.
“Macam mana boleh jadi macam
ni?” Tanya Dato’ Shahrul yang mula rasa tidak sedap hati.
“Putra selamatkan Qis, papa.”
Balqis tunduk. Dia tidak berdaya untuk
memandang kepada papanya. Datin Salina
terus merangkul anak gadisnya.
“Kau tak ada apa, Qis?” Balqis
menggeleng.
“Apa yang dah jadi sebenarnya
ni?”
“Balqis nyaris jadi pelepas
nafsu Aris, papa.” Ringkas dan padat
sahaja kata yang dilontarkan oleh Putra.
“Apa? Kurang ajar!
Dah papa katakan, kamu tak nak dengar.
Nasib baik ada Putra ni. kalau
tidak tak tahulah nasib kamu.”
“Maafkan Qis papa. Qis tahu salah Qis.” Dato’ Shahrul tidak tahu untuk berkata
apa. Perkara sudah lepas. Nasib baik ada Putra yang telah menyelamatkan
maruah anak gadisnya. Dia sendiri tidak
tahu bagaimana cara untuk dia membalas budi jejaka itu.
“Terima kasih, nak. Papa tak tahu macam mana nak balas budi kau.”
Ucap Dato’ Shahrul sambil memegang lembut bahu Putra.
“Tak ada apa-apa pa. Memang
sudah menjadi tanggung jawab saya. Lagi
pun papa banyak dah membantu saya dua beradik.”
“Tidak dengan apa yang telah kau
lakukan. Dulu kau selamatkan nyawa
papa. Kini kau selamatkan maruah Balqis. Papa….”
“Papa…. Putra rasa senang dengan
kasih sayang yang papa dengan mama berikan.
Kalau tidak dengan apa yang papa dengan mama berikan selama ini sudah
tentu Putra dengan Putri tidak berjaya.” Dato’ Shahrul dan Datin Salina cuba
untuk tidak untuk menitiskan air mata tetapi Datin Salina lebih dulu
menangis. Sayu dengan kata-kata yang
diucapkan oleh Putra itu.
“Putra balik dulu… pa, ma.”
“Eh, nanti dulu. Tuam dulu bengkak tu. Dah macam apa dah mama tengok.” Datin Salina berlalu ke dapur untuk mencari
ais.
“Papa risau juga kalau-kalau si
Aris tu buat aduan.”
“Papa jangan risau. Dia tak akan punya. Kalau dia buat report juga, dia sendiri yang
akan masuk perangkap. Putra dah rekod
dengan apa yang dia dah buat pada Balqis.”
“Pandai anak papa ni. Terima kasih sekali lagi.”
“Mari mama tuamkan.” Ujar Datin Salina seraya muncul dari dapur.
“Tak apalah mama. Putra boleh buat sendiri.” Tolak Putra.
“Qis buat mama.” Kali ini Balqis pula yang menyampuk setelah
sekian lama dia mendiamkan diri. Dia
sedar dia masih belum mengucapkan terima kasih kepada itu.
“Tak payah. Balqis pergilah masuk tidur. Tak perlu susah pasal saya. Saya boleh buat sendiri.” Putra menolak lagi.
“Dah, jangan nak
mengada-ngada. Awak tu anak dara.” Seloroh Datin Salina.
“Ma, kalau kita ajak Putri dengan er… abang Putra
tinggal sama-sama boleh?” Terbuntang
mata Dato’ Sharul mendengarnya.
“Boleh tapi dengan satu syarat.”
Paluan kompang yang memeriahkan
majlis walimatulurus di Dato’ Shahrul membuatkan Dato’ Shahrul dan Datin Salina
tidak lekang dengan seyuman di bibirnya.
Mereka memanjat kesyukuran yang tidak terhingga dengan jodoh yang
terukir di antara Putra dan Balqis.
Memang itu niat mereka dari sejak dulu lagi.
Putra yang kacak berbaju melayu
cekak musang berona peach lembut benar-benar memberikan debaran kencang di hati
Balqis. Pertama kali hatinya berkocak
saat dia bertentang mata dengan Putra. Ketenangan yang dipamerkan oleh Putra
membuatkan Balqis tidak tenang untuk bertentang mata. Putra
menyarungkan cincin dan Balqis mencium tangan Putra. Di saat itu entah mengapa air matanya
mengalir perlahan. Hatinya sayu dengan tiba-tiba.
“Maafkan Qis abang, selama ini
Qis banyak menyusahkan abang.” Perlahan
sahaja kata-kata yang dilontarkan oleh Balqis.
“Hish…. Jangan macam ni sayang… abang akan jaga sayang seperti nayawa abang. Itu janji abang.”
Putra menyeka lembut air mata Balqis. Balqis memandang sekilas kepada
Putra. Betapa dia bangga mempunyai
seorang suami seperti Putra. Dia
memanjat rasa kesyukuran yang tidak terhingga dengan kehadiran kedua-dua beradik
itu yang menyemai kasih sayang yang tidak pernah terfikir olehnya. Putri yang setia berada di sebelahnya
tersenyum riang. Kini dia sudah ada
seseorang yang akan dipanggil kakak.