Home Novelet Islamik Ketika Senja Berkata Cinta
Ketika Senja Berkata Cinta
Asfahul Muhib
7/4/2020 04:09:11
61,321
Kategori: Novelet
Genre: Islamik
Part 8

Sudah 5 hari Nurul belum juga ada kabar sejak kepulangannya. Di pesantren, Zahra lebih banyak diam di kamar. Rasanya tidak lengkap kalau tidak ada Nurul. Mandi sendiri, makan sendiri, hafalan 'Imrity sendiri, berangkat takror dan diniyyah juga sendiri.

"Ada apa dengan Nurul? Tidak biasanya dia pulang lebih dari tiga hari kalau tidak sedang liburan. Apa mungkin terjadi sesuatu dengannya?" Zahra berdialog sendiri dengan hatinya. Mencoba mengobati rasa rindu pada sahabatnya. Andai di pesantren boleh memegang handphone, pasti dia sudah menelepon atau mengirim pesan singkat menanyakan kabar Nurul. Atau, kalau rumah Nurul di dekat pesantren, pastilah dia sudah kerumahnya. Mengajaknya kembali ke pesantren, tidur bersama, belajar bersama, tertawa bersama dan bersenda gurau bersama setiap hari.

"Assalamu'alaikum." Suara salam di balik pintu menghentikan dialog di dalam hatinya.

"Wa'alaikumussalam warohmatullah." Cepat-cepat Zahra memakai kerudungnya dan segera membuka pintu kamarnya.

"Ya Allah...." Zahra berseru dan segera memeluk perempuan yang ada di depan pintu dengan erat. Tak lupa dia juga mencium punggung tangan dan kedua pipi perempuan itu.

"Monggo masuk ke dalam, Bu!"

Zahra mempersilahkan perempuan muda yang tak lain adalah Ibunya itu untuk masuk kamar A13.

"Ayah mana, Bu, kok sendirian?"

"Ayahmu masih di kamar kecil, tadi kebelet, nah itu, di omongin datang, panjang umur."

Zahra kemudian menyalami ayahnya. Mempersilahkan masuk lalu menutup pintu kamarnya. Mereka bertiga mengobrol di dalam kamar saling melepas rindu. Kedua orang tua dan seorang anak gadisnya saling menanyakan kabar masing-masing.

"Eh, ngomong-ngomong dari tadi Nurul kok tidak kelihatan, dia kemana, Ra?" Tanya Ibu Shofiyah.

"Sudah 5 hari pulang, Bu."

"Tumben Nurul pulang lama. Padahal Ibu bungkuskan nasi banyak lo untuk kalian berdua." Ibu Shofiyah menyerahkan sebuah bungkusan pada Zahra. Ibu Shofiyah juga menyerahkan sejumlah uang untuk keperluan Zahra di pesantren.

"Kurang, tidak?"

"Tidak, Bu, ini sudah sangat cukup, Zahra sudah belajar banyak dari Nurul. Nurul itu jatah uang perbulannya tidak ada separuhnya uang ini, tapi dia cukup."

"Ya sudah, ini Ibu tambah buat jajan kalian berdua. Ingat, selalu berbagi dengan kawanmu kalau punya lebih. Terutama Nurul, dia itu baik sekali lo sama kamu. Tambahan uang ini khusus untuk kalian berdua. Tunggu nanti kalau dia sudah datang!"

Zahra mengangguk mendengar penuturan Ibunya. Dia sangat bersyukur mempunyai orang tua yang dermawan. Meski sejak kecil Zahra dimanja, tapi dia senantiasa diajari untuk suka bersedekah.

"Ayah, kalau sore ada waktu luang, nggak?" dengan sopan Zahra menanyakan keadaan Ayahnya di waktu sore.

"Ya, sekitar jam 4 sore Ayah sudah di rumah, kenapa, Ra?" Pak Mahali balik bertanya sedikit menyelidik.

"Zahra kangen sama Nurul, Yah. Tidak biasanya Nurul pulang lebih dari 5 hari kalau tidak pas liburan."

"Ya nanti biar Ayah main ke rumahnya. Sekalian sudah lama tidak ngobrol dengan Bapaknya." Pak Mahali seperti mengetahui apa maksud putrinya ini. Sebelum diminta beliau sudah mengutarakan apa yang diharapkan Zahra.

Seketika bibir Zahra menyunggingkan senyum seraya berterima kasih kepada Ayahnya. "Sebentar ya, Yah. Zahra buatkan surat untuk Nurul." Zahra kemudian mengambil pena dan secarik kertas.

* Assalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh

Salam cinta dariku untukmu sahabatku.

Alhamdulillah Allah menjawab do'aku, do'a agar rasa rinduku tersampaikan untukmu.

Semoga engkau di sana senantiasa berada dalam lindungannya, dalam rahmatnya, dan dalam naungan ridhonya.

Nurul, sudah lima hari kau meninggalkan kamar kita tercinta ini. Di pesantren ini, ada apa? Apakah kau baik-baik saja? Semoga...

Kenapa kau tidak kembali juga?

Apa kamu tidak kangen dengan dinginnya air kolam pesantren di sepertiga malam?

Apa kamu tidak kangen dengan 2 ekor cicak di kamar kita? Yang karena cicak itu lalu kau mendongeng kisah Angling Dharma kepadaku.

Apa kamu juga tidak kangen dengan sebuah meja kecil di kamar kita? Yang kau sering tertidur di atasnya ketika kau belajar, hingga akulah yang repot membangunkanmu.

Nurul, segera kembali ke pesantren kalau urusanmu sudah selesai.

Air kolam, cicak dan meja kecil setiap bertemu aku selalu menanyakanmu, kenapa kau belum kembali juga?

Datanglah, Rul! dan jawab pertanyaan mereka.

Dari sahabatmu yang sedang memikirkan jawaban untuk air kolam, cicak dan meja kecil.

Zahratul Ulya.

Penjara suci Darul Manan.

*Wassalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh.

Zahra lalu melipat kertas itu dan memasukkanya ke sebuah amplop kecil. Surat itu kemudian diserahkan pada Ayahnya.

"Ya, sudah. Ibu sama Ayah pamit pulang dulu. Belajar yang rajin!"

"Iya bu, do'akan Zahra! Semoga menjadi wanita yang solihah"

Ibunya mengangguk, lalu memeluk Zahra, mencium keningnya berkali-kali sambil mendo'akan apa yang diminta putrinya. Zahra diam memejamkan matanya, hanya mulutnya yang lirih mengucapkan lafadz "Amiinn" dan terus mengucapkannya hingga ibunya melepas pelukannya. Di belakang, Ayahnya juga mengamini do'a Ibunya. Dalam hati Pak Mahali juga mengharap semoga anak perempuannya bisa termasuk salah satu dari 3 peninggalan yang disebutkan Nabi. Yang akan mendo'akannya sampai ketika dia sudah mati nanti.

Zahra mengantar Ayah dan Ibunya sampai di gerbang pesantren putri. Setelah mengucapkan salam, Pak Mahali dan Ibu Shofiyah masuk ke mobil kemudian pergi. Zahra melambaikan tangan sambil berdo'a semoga orang tuanya senantiasa meridhoinya dan menyayanginya. Zahra selalu ingat hadist Rosulullah yang berbunyi Ridollahi fi ridhol walidaini wa syukhthullohi fi syukhthil walidaini (Ridho Allah ada pada ridho kedua orang tua dan murka Allah juga ada pada murka orang tua).

***

Zahra berharap suratnya segera sampai pada Nurul. Kalau bisa Nurul segera berangkat ke pesantren agar Zahra mempunyai teman di kamarnya. Zahra sudah merasa kesepian tanpa kehadiran Nurul.

Nurul memang gadis yang sempurna. Dia selalu saja memberi jawaban yang memuaskan jika ditanya. Apalagi dia adalah sahabat yang sangat ramah dan sepertinya tidak pernah sakit hati. Dia orang yang supel. Diajak guyonan atau bercanda pun dia sangat menyenangkan. Dia selalu bilang, amal yang sangat utama adalah 'Idkholus Surur' yakni menyenangkan hati orang lain. Bahkan amal ini lebih utama dari pada puasa-puasa sunnah.

Dulu, Nurul pernah main ke rumah Zahra. Saat itu Zahra membelikannya bakso. Dia kemudian membatalkan puasa senin-kamisnya demi makan bakso yang dia belikan. Bukan perkara baksonya, tapi Nurul ingin menyenangkan hati Zahra. Dan memang saat itu Zahra merasa sangat senang ketika Nurul memakannya begitu lahap. Zahra tidak menyadari kalau waktu itu Nurul sedang berpuasa. Mengenai 'Idkholus Surur', Nurul bilang mendapatkan keterangannya ketika menyimak pengajian Al-Hikam oleh Kiai Jamaludin, Tambak beras, Jombang.

"Oh, Nurul, cepatlah kau kembali." lirih Zahra mengucapkannya.

Zahra terus mengingat Nurul, hingga akhirnya dia mengantuk dan tertidur.

***

Setelah mencuci muka, menggosok gigi dan berwudlu, Nurul berniat untuk istirahat. Meski fikirannya belum tenang, matanya juga belum mengantuk, tapi dia tetap berniat akan tidur. Dia khawatir kalau tidak segera memejamkan mata, tidak akan bisa bangun di sepertiga malam terakhir. Sayang sekali kalau sepertiga malam harus lewat begitu saja dalam hidup. Karena sekali hidup, manusia hanya diberi jatah beberapa sepertiga malam saja.

Tapi, lima belas menit sudah dia di atas tempat tidur. matanya masih belum tertutup, jangankan tidur, mengantuk saja tidak.

Di fikirannya, masih ada bayang-bayang sebuah surat yang dibacanya tadi sore, surat yang seharusnya membuatnya bahagia. Sebuah surat yang ditulis dengan penuh cinta. Namun dia justru gelisah. Dia merasa belum bisa memenuhi harapan pengirim surat itu. Dia lalu bangun dari tempat tidurnya dan menyalakan lampu kecil di atas meja di sebelah tempat tidurnya. Dia ingin menghafal 'Imriti saja. Biasanya dengan menghafal, matanya akan merasakan kantuk.

Satu, dua, tiga hingga akhirnya mendapatkan sepuluh Nadhom, namun matanya belum juga mengantuk. Dia malah asyik dengan Nadhom-nadhom itu. Setelah dirasa cukup dia kemudian menutup kitabnya, membuka kembali surat yang tadi sore datang di antar Kang Din.

¤Kepada Nurul Hidayatul Husna

Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Salam perkenalan, semoga salam ini akan bisa membawa seribu salam di hari berikutnya.

Mohon maaf sebelumnya jika kedatangan surat ini mengganggu kesibukanmu, bahkan mungkin mengganggu perasaanmu.

Kutulis surat ini sebagai pengganti dari rasa takutku untuk menemuimu dan berbicara langsung denganmu.

Nurul,

Aku adalah sahabat kakakmu, Kang Din. Aku melihatmu untuk pertama kalinya ketika latihan Qiro'at. Aku mulai memperhatikanmu ketika air matamu meleleh karna Surat Ar-Rum ayat 23. Sejak itu kau seperti menjadi 'Ayn Syamsi dalam kisah Syaikh San'an. Dan aku ibarat San'an yang sangat menderita. Mungkin memang terlalu cepat. Tapi, apa daya. Aku si San'an sudah merasa bahwa dirinya seperti lilin yang kehilangan malam karena tidak melihat 'Aiyn Syamsi hingga pagi hari.

Nurul,

Maafkan aku, aku katakan bahwa aku telah mendengar semua tentangmu, tentang puisimu dari sahabatmu Zahra.

Nurul,

Seperti halnya Syekh San'an yang ingin memantaskan diri untuk menjadi cinta 'Ayn Syamsi, Aku juga demikian. Lelaki yang pantas untuk dicintai seorang wanita adalah suaminya. Dan aku ingin menjadi yang pantas bagimu.

Nurul,

Tentu kau sudah mengerti maksudku, Aku akan menanti jawabanmu dengan sabar dan berbesar hati. Janganlah kau paksa dirimu. Aku harap surat ini tidak mengusikmu.

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

¤Hanif Kholilullah

Masih seperti tadi sore, jantung Nurul berdetak hebat. Kebahagiaan menyusup di hatinya, namun juga kekhawatiran dan kebingungan memperingatkan nalurinya.

"Apakah ini rencana Allah? Aku terpaksa pulang dari pesantren karena keadaan ayahku, lalu surat ini datang ." Nurul bergumam sendiri.

"Apakah ini takdir Allah jika aku menerima cinta Kang Hanif lalu menikah? Tapi bagaimana dengan Zahra? Bagaimana 'Imritiku yang belum selesai? Aku masih ingin belajar. Hanya orang-orang lemah yang mengatakan bahwa semuanya takdir." Nurul menarik nafas.

"Aku belum ingin menikah. Aku ingin menyelesaikan belajarku. Aku harus berusaha untuk itu. Berusaha sekeras-kerasnya lalu berpasrah sepasrah-pasrahnya tentang hasilnya."

Nurul terus berfikir, sambil mengingat-ingat apa yang dikatakan Kang Jauhari. Beliau pernah bercerita dahulu ketika Khalifah Umar pergi ke negeri Syam. Di tengah jalan beliau mendengar kabar bahwa ternyata di Syam telah tersebar wabah penyakit. Kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah.

Lalu Abu Ubaidah bertanya : Hai Amirul Mukminin, kenapa kau kembali ke Madinah dan lari dari takdir Allah?

Khalifah Umar menjawab : Aku kembali ke Madinah ini juga takdir Allah.

Fikiran Nurul berkecamuk, dia lalu merebahkan tubuhnya, matanya terus mengecil dan mengecil lalu tertidur.

Previous: Part 7
Next: Part 9

Portal Ilham tidak akan bertanggungjawab di atas setiap komen yang diutarakan di laman sosial ini. Ianya adalah pandangan peribadi dari pemilik akaun dan ianya tiada kaitan dengan pihak Portal Ilham.

Portal Ilham berhak untuk memadamkan komen yang dirasakan kurang sesuai atau bersifat perkauman yang boleh mendatangkan salah faham atau perbalahan dari pembaca lain. Komen yang melanggar terma dan syarat yang ditetapkan juga akan dipadam.

Karya lain oleh Asfahul Muhib