Hari ini matahari seperti tampak bermuram durja. Senin ini tampak tidak begitu indah. Bukan musim atau cuaca yang berubah. Namun keadaan hatilah yang berubah.
Di dalam kamar A13, Nurul tengah memasukkan sebagian bajunya ke dalam tas ranselnya.
"Kamu jadi pulang, Rul?"
"Insyaallah, Ra, Ibuku menolak ketika aku meminta mengundur satu hari saja." tangan Nurul tetap sibuk dengan baju dan tasnya ketika menjawab pertanyaan Zahra. Mengingat ibunya yang menelepon tadi pagi. Memintanya segera pulang tanpa boleh ditunda.
"Nanti malam latihan Qiro'at lo, kamu tidak ingin ikut?"
"Ya, ingin, tapi mau gimana lagi? Aku tidak bisa ikut meski ingin ikut. Kadang ingin dan bisa memang perlu dipertimbangkan dan dibandingkan." Nurul masih ingat sepenggal kata-kata ibunya, 'Kamu harus pulang hari ini, Nduk.'. Padahal dalam hati Nurul ingin sekali bertemu dengan Kang Hanif waktu latihan Qiro'at nanti malam. Sekedar bertemu dengan pujaan hati sudah bisa menentramkan jiwa.
"Kamu cepat kembali, kan?"
"Insyaallah, nanti malam waktunya lagu shoba dan hijaz, ya? Besok, kalau aku sudah kembali, ajari, ya!"
"Beres!"
*
Setelah sholat dhuhur seseorang telah menunggu Nurul di kantor pondok putri. Namanya Pak Ali. Pak Leknya Nurul, satu-satunya adik kandung Pak Miftah, ayah Nurul.
"Rul, kenapa gak besok sih pulangnya?" Zahra kelihatan sedih.
"Tenang, lebih cepat pulang, artinya lebih cepat kembali." kata Nurul sambil menepuk pundak Zahra meyakinkan.
"Amin, ya sudah Pak Lekmu sudah menunggu. Hati-hati dijalan! Aku pasti kangen kamu." mata Zahra berkaca-kaca ketika mengucapkannya.
Nurul lalu memeluknya, "Aku juga pasti kangen kamu, Ra. Sudah jangan nangis, kayak mau ditinggal kemana aja."
Meski watak Zahra agak keras, tapi dia orang yang mudah tersentuh hatinya. Apalagi dia sudah menganggap Nurul seperti saudaranya sendiri.
"Monggo, Pak Lek." Nurul menaiki boncengan motor pamannya. Motor itu segera pergi meninggalkan gerbang pesantren.
"Assalamu'alaikum . . ." Nurul melambaikan tangan pada Zahra sambil tersenyum.
"Wa'alaikumussalam warohmatullah".
"Selamat jalan, Rul! Semoga selamat sampai tujuan."
***
Seperti biasa, Senin malam sehabis maghrib diadakan latihan Qiro'at di dalam aula pondok putri. Sebelum membacakan ayatnya, Hanif terlebih dahulu menjelaskan tentang nada shoba dan hijaz yang akan dipelajari.
"Nada shoba memiliki karakter yang lembut dan halus, nada ini penuh dengan nuansa kesedihan. Sedangkan nada hijaz memiliki karakter khas ketimuran, nada yang sangat indah dari timur, nada aslinya mendasar, nada ini sering dikumandangkan oleh para penggembala unta di padang pasir."
Penjelasan Hanif membuat hati Zahra begemuruh. Cinta di hatinya semakin tumbuh. Ternyata Kang Hanif tidak hanya piawai melantunkan Qiro'at, tapi dia juga begitu gamblang memberikan penjelasan tentang nada-nada Qiro'atnya.
"Mbak Zahra, Mbak Nurulnya kemana kok tidak kelihatan? Pertanyaan Kang Hanif tiba-tiba membuyarkan lamunan Zahra.
Dengan detak jantung yang tidak karuan Zahra menjawab dengan terbata-bata. "Ee iya, tidak masuk, pulang, Kang."
Zahra cemburu sekali. Ingin rasanya dia menangis. Kenapa dan kenapa dia jatuh cinta dengan seseorang yang juga dicintai sahabatnya?
***
Di rumah, Nurul sedang memarut kunyit. Dia hendak mengambil perasan airnya. Tangannya menguning karena kunyit yang dipegangnya, namun dia nampak tidak peduli. Yang ada di fikirannya, dia ingin segera menyelesaikan perasan kunyitnya dan memberikan kepada bapaknya yang sedang sakit.
Ternyata inilah alasan kenapa Nurul diminta pulang. Pak Miftah sakit dan hanya mau dilayani anak gadisnya. Sebelum Nurul pulang, Pak Miftah susah sekali makan. Berulang kali dia berujar ingin dilayani Nurul, kangen sama Nurul. Malam ini Pak Miftah mengeluhkan sakit perut. Tanpa diminta, Nurul segera membuat air perasan kunyit. Keluarga Pak Miftah adalah keluarga yang sederhana. Untuk urusan pengobatan juga sering memakai cara-cara yang sederhana, cara-cara tradisional. Nurul sudah tidak ingat lagi kalau malam ini malam Selasa. Tidak ingat lagi kalau malam ini seharusnya dia bertemu Kang Hanif di aula pondok putri. Dia sudah berkonsentrasi melayani Bapaknya. Sesekali Nurul memijitnya, membuatkan obat, membuatkan 'Wedang', atau sekedar menemani bapaknya bercerita.
"Bu, sebenarnya Bapak sakit apa?" Nurul membuka pembicaraan dengan Ibunya ketika sama-sama menonton TV.
"La tadi sakit perut gitu." jawab Ibunya.
"Belum dibawa ke dokter ya, Bu?"
"Sudah ke puskesmas kok, Rul, kalau ke dokter kan mahal, uang Ibu tidak cukup. kemarin panen kita....."
"Panennya ditabung sama Ibumu, buat nikahin kamu." tiba-tiba Pak Miftah muncul dan memotong pembicaraan Ibunya dengan guyonan.
"Bapak sakitnya mungkin karena kangen kamu, Nduk, ini sekarang sudah bisa jalan sendiri ke kamar mandi." tambah Bapaknya lagi.
Rumah keluarga pak Miftah berbentuk kotak kecil yang sedikit memanjang, kamar mandi ada di bagian paling belakang, maka untuk sampai ke kamar mandi memang harus melewati ruang keluarga yang ada TVnya itu.
"Ya sudah, Pak, istirahat dulu! Ganti Nurul yang ke kamar mandi." Nurul beranjak berdiri segera menghampiri Bapaknya dan menuntunnya kembali ke kamar tidur.
"Semoga ridho Allah senantiasa menaungi semua langkahmu, nak." Pak Miftah mencium kening Nurul
Nurul mengamini do'a lelaki tua yang sangat dicintainya itu berkali-kali. Lalu dia segera bergegas ke kamar mandi, gosok gigi dan berwudhu. Ada yang harus segera dia lakukan, sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang dibentuknya di pesantren, Nurul benar-benar menjaganya agar terus bisa istiqomah. Dalam 24 jam harus bisa membaca Al-Qur'an minimal satu Juz. Hanya tiga puluh menit sudah terbaca dengan tartil. Dia tidak akan meninggalkannya seberat apapun keadaanya. Setelah itu Nurul berencana untuk istirahat.
***
Pukul setengah tiga pagi Nurul terbangun. Dia lalu ke kamar mandi untuk mengambil Wudhu. Begitu sayang jika sepertiga malam dilewatkan begitu saja. Sehabis berwudhu Nurul menuju ke kamar sholat, sebuah kamar keluarga yang dikhususkan untuk beribadah. Kamar itu terletak di area dapur, bersebelahan dengan dapur.
Namun sesampainya di depan kamar sholat, dia mengurungkan niatnya untuk masuk. Terdengar dari dalam suara ibunya sedang sesenggukan menangis. Kamar itu tidak berpintu, hanya kain kelambu yang menutup jalan keluar-masuk. Nurul sempat membuka kelambu sedikit, mengintip, memastikan bahwa yang di dalam kamar adalah Bapak dan Ibunya. Kemudian Nurul memutuskan untuk bertahajud di kamarnya sendiri.
Seperti biasa, empat rakaat tahajud dan tiga rakaat witir didirikannya. Dilanjutkan dengan do'a-do'a. Nurul mengulang-ulang do'a Nabi "Allahumma inni as~aluka 'ilman nafi'a wa 'amalan mutaqobbala wa rizqon thoyyiba."
Do'a yang paling TOP adalah do'a yang diajarkan Nabi atau yang tertera di dalam Al-Qur'an, begitu keterangan KH. Sya'roni Kudus.
Setelah menyelesaikan munajatnya, Nurul pergi ke dapur karena kehausan. Terdengar suara Ibunya masih menangis.
"Kenapa ibu masih menangis?" Nurul berbicara dalam hatinya.
Dengan masih memegang segelas air putih Nurul agak menggeser duduknya mendekat kelambu.
"Pokoknya Nurul jangan sampai tahu, Bu, kalau kita kehabisan uang, kalau panen kemarin gagal dan kita harus menjual sepeda motor tua kita untuk menebus hutang pupuk dan bibit yang kita tanam. Bapak tidak mau Nurul berhenti belajar. Makanya tadi Bapak memotong pembicaraan Ibu di ruang tv. Maafkan Bapak ya, Bu! Jangan sampai Nurul tahu juga, kalau kepulangannya adalah karena kita belum bisa mengiriminya uang untuk....." Nurul pelan-pelan meletakkan gelasnya lalu kembali ke kamar.
Nurul merebahkan badannya di kasur tuanya. Matanya sudah sangat basah. Tangisnya tidak bisa lagi dibendung. Dia menengkurapkan tubuhnya, menutup mukanya dengan bantal, menahan agar suara tangisnya tidak sampai keluar kamar. Nurul terus menangis, bantalnya basah oleh air mata.
"La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minad dholimin." Nurul melafadzkannya berulang-ulang sambil mendekap bantalnya, menahan tangis dan dadanya yang terasa semakin sesak.