Home Novelet Islamik Ketika Senja Berkata Cinta
Ketika Senja Berkata Cinta
Asfahul Muhib
7/4/2020 04:09:11
61,492
Kategori: Novelet
Genre: Islamik
Part 12

"Kenapa ayahmu belum datang juga ya, Ra? Ini kan sudah hampir jam sembilan malam."

"Mungkin ayahku masih sibuk, Rul, biasanya kalau pesanan sedang banyak ayah memang suka lembur. Memangnya kamu mau balik ke pondok?"

"Ya nggak lah, aku akan tungguin kamu sampai sembuh."

Zahra menautkan seutas senyum, merasa bahagia mempunyai sahabat yang memperlakukannya layaknya saudara.

"Kamu hafal nomer telepon ayahmu?"

Zahra mengangguk

"Kalau gitu biar kucatat, nanti ku hubungi lewat telepon umum di samping RS ini."

Zahra menyebutkan angka-angka dan Nurul mencatatnya pada sehelai kertas.

Nurul segera bergegas menuju ke telepon umum yang ada di samping Rumah Sakit.

***

Beberapa kali Nurul menghubungi nomer yang telah dicatat, tetapi tidak tersambung.

"Kok nggak nyambung ya, Ra, benar tidak ini nomernya?"

"Benar kok, ya sudah ini nomer telepon ibuku."

Zahra lalu menuliskan sebuah nomer telepon lagi lalu kembali lagi ke depan rumah sakit dan menelepon nomer baru yang diberi Zahra, namun sayangnya tetap tidak berhasil. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya dia menyerah juga, tidak ada hasilnya.

Sudah hampir pukul sepuluh malam. Ayah Zahra belum juga datang. Kasihan Zahra, dia tidak begitu suka makanan yang disediakan rumah sakit. Sejak tadi sore Zahra belum mau makan.

Padahal di pesantren Zahra baru makan tadi pagi bersamanya. Nurul sendiri juga tidak mengantongi uang sama sekali. Andai dompetnya tidak tertinggal di pondok, Zahra pasti sudah dibelikan makanan. tidak cuma Zahra, Nurul juga baru makan tadi pagi di pesantren.

Nurul lalu mencoba menelepon kembali nomer Pak Mahal. Menurut Zahra nomer itu sudah benar, mungkin saja jaringan sedang error. Lagian nelepon lewat telepon umum ini gratis.

"Halo Assalamu'alaikum, benar pak Mahali?"

"Halo, apakah anda kenal dengan ibu Shofiyah?"

Suara di seberang malah balik bertanya.

"Iya, ini siapa?"

Meski agak bingung, Nurul menjawab pertanyaan di seberang.

"Kami dari Rumah Sakit Al-Huda Genteng Banyuwangi, bapak-bapak pemilik Handphone yang mbak telepon ini mengalami kecelakaan tadi sekitar pukul delapan setelah isya', kalau mbak mengenal Ibu Shofiyah, kami yakin mbak juga mengenal bapak ini, kami minta tolong dan mohon mbak segera datang ke Rumah Sakit Al-Huda Jl. Diponegoro No. 65 Genteng Banyuwangi. Tanyakan ke petugas yang jaga di depan tentang ruangan bapak-bapak yang kecelakaan, kami tunggu segera, agar kami bisa segera mengabari keluarganya."

"Iya, Wassalamu'alaikum." Nurul mematikan teleponnya. Kebingungan memikirkan apa yang baru saja didengarnya, tapi dia segera ke depan Rumah sakit, menghampiri petugas jaga yang ada di pintu masuk.

Petugas itu memberi keterangan seperlunya, Nurul segera menuju ruangan tempat korban kecelakaan dirawat.

Tangis Nurul benar-benar pecah setelah memastikan bahwa korban kecelakaan itu adalah Pak Mahali, ayah Zahra. Nurul tidak tau apa yang harus disampaikan ke Zahra, apakah dia harus mengatakan kalau ayahnya kecelakaan dan mengalami pendarahan yang fatal di kepalanya? Apalagi dokter bilang kemungkinan tertolongnya sangat kecil.

Nurul begitu kasihan pada Zahra. Betapa berat cobaan yang dialaminya, baru saja tadi Zahra berujar hendak belajar ikhlas, namun ikhlas itu sudah hendak diuji lagi oleh Allah SWT.

Setelah menjelaskan kepada petugas rumah sakit, Nurul dipercaya untuk menghubungi keluarga korban. Nomer telepon Ibu Shofiyah yang ada dikantongnya segera dihubungi.

Kali ini tersambung, Ibu Shofiyah meminta maaf karena tadi sibuk di gudang. Jadi handphonenya ditinggal di dalam rumah. Sehingga tidak ada yang menjawab sewaktu dihubungi.

Nurul bercerita keadaan di RS, dia menjelaskan semuanya, sedetail-detailnya, tentang keadaan Zahra, keadaan Bpk. Mahali dan juga ketidak tahuan Zahra tentang keadaan Bpk. Mahali. Sejenak kemudian, Nurul dapat mendengar dengan jelas isak tangis Bu Shofiyah melalui telepon.

"Bu, yang sabar, ya, Nurul siap membantu apapun sebisa Nurul."

"Iya, Rul, terimakasih, tolong hibur Zahra! Jangan beritahukan dulu perihal tentang ayahnya, sekarang juga saya akan langsung kesana."

"Iya, Bu, Nurul tunggu di depan RS, Assalamu'alaikum."

***

Sudah pukul sepuluh malam lebih, RS masih tampak ramai. Nurul berjalan ke belakang menuju Ruang Sabar 2, ruang dimana Zahra dirawat. Ketika melewati koridor yang menghubungkan Ruang Sabar dan Laboratorium, Nurul melihat seorang berbaju batik motif bunga yang wajahnya tidak asing lewat di koridor seberang.

Jarak antar koridor hanyalah beberapa meter dan tidak ada pembatas yang menghalangi pandangan diantara keduanya.

Wajah itu benar-benar tidak asing, sayangnya wajah itu sama sekali tidak menoleh ke arah koridor dimana Nurul sedang berjalan. Nurul bergegas segera mengejar orang berbaju batik itu, tidak salah lagi.

Nurul sangat yakin itu adalah Kang Hanif. Tapi kenapa Kang Hanif ada di RS ini? Bukankah Kang Hanif di Kudus? Nurul mempercepat langkahnya berharap bisa menyusul orang berbaju batik yang mirip Kang Hanif itu. Hati Nurul bergemuruh, nafasnya tidak teratur, perasaan Nurul benar-benar serasa dipermainkan oleh takdir.

Zahra juga sakit, keadaannya sangat membuat Nurul iba dan kasihan. Ditambah lagi Pak Mahali menjadi korban tabrak lari dan mengalami luka yang fatal di kepalanya. Hati Nurul begitu perih merasakan penderitaan Zahra, sekarang muncul bayangan Kang Hanif dan mungkin benar-benar Kang Hanif yang dikabarkan telah menikah sirri.

Seorang lelaki yang pernah mendobrak pintu hatinya dan menanamkan benih cinta yang sampai saat ini benih itu belum mati juga. Cintanya telah terkoyak, kini penanam benih cinta itu muncul dihadapannya.

Hilang sudah akal logika Nurul, yang ada difikirannya hanyalah bisa mengejar Kang Hanif dan bisa mengajaknya bicara. Memastikan bahwa kabar pernikahannya hanyalah kebohongan belaka. Tapi sekali lagi Nurul berfikir, Kang Din yang menyampaikan berita bukanlah seorang pendusta. Bahkan Kang Din termasuk orang yang sangat dipercaya di Ndalem. Lalu bagaimana?

Nurul terus mengikuti lelaki berbaju batik dari belakang, langkah lelaki itu terlalu cepat sehingga Nurul yang nafasnya sudah tidak teratur kuwalahan untuk mengejarnya. Namun Nurul masih bisa melihat ternyata lelaki itu menuju dan masuk ke toilet putra.

Nurul menjadi bimbang, lucu rasanya kalau dia menunggu seseorang yang belum pasti di depan toilet putra. Padahal dia ada janji menunggu Ibu Shofiyah datang di depan RS.

Nurul memutuskan untuk kembali ke ruangan Zahra. Air matanya terus menetes memaksakan kaki untuk melangkah meski kedua kakinya serasa sudah enggan untuk bergerak.

"Ya riikhal laili, balligh salaami 'ala habiibil mahbub."

"Wahai angin malam, sampaikan salamku pada kekasihku yang tercinta".

Begitulah gumam Nurul ketika pergi berlalu meninggalkan bayangan Kang Hanif.

Di Ruang Sabar, Nurul mendapati Zahra sedang menangis. Kasihan Zahra, sudah sejak tadi ditinggalnya sendirian di ruangan itu. Mungkin Zahra merasa kesepian, disaat sakit melanda, tidak ada siapapun di dekatnya.

"Sudah, Ra, jangan menangis, maaf ya terlalu lama..."

"Apakah kamu sudah menghubungi ayah atau ibuku, Rul? Maaf ya merepotkanmu!" Zahra sesenggukan menanyakannya.

"Sudah, Ra, Ibumu akan kesini." Nurul mencoba tegar, air matanya ditahan sedemikian rupa.

"Kenapa bukan ayahku, Rul? Katanya tadi ayahku, apakah ayahku baik-baik saja?"

Nurul diam, dadanya sesak ditanya Zahra seperti itu. Akhirnya air matanya merembes juga.

"Kenapa kamu ikut menangis?"

"Kamu kenapa menangis juga, Ra?" Zahra mengusap air matanya, mencoba tenang lalu bercerita bahwa baru saja Zahra tertidur. Dalam tidurnya Zahra bermimpi didatangi oleh ayahnya yang berpakaian serba putih.

Ayahnya menangis meminta sesuatu pada Zahra. Tapi Zahra bingung hendak memberikan apa? Lalu ayahnya mencium keningnya dan memintanya untuk menjadi putrinya yang sholihah. Setelah itu ayahnya tersenyum lalu mengucapkan salam, dan sebelum Zahra sempat menjawab salam itu, Zahra sudah bangun dari tidurnya. Mimpi itulah yang menyebabkan Zahra menangis.

Nurul mematung, Nurul tidak tau harus berbuat apa dan berkata apa. Dipandangi wajah Zahra yang gurat kesedihannya masih begitu lekat. Andaikan Nurul bisa memusnahkan kesedihan sahabatnya itu, pasti sudah Nurul lakukan dan tidak akan memberi peluang lagi kepada kesedihan untuk datang.

"Ya Allah, inilah kelemahan manusia. Akal dan hati sudah tidak dapat berbuat apa-apa, inilah petunjuk bahwa tak sepantasnya jika akal dan hati seseorang itu sombong. kini Engkau memberikan keadaan di mana akal dan hati sudah terasa beku dan kaku. Hanya engkau ya Allah yang bisa menolong." Bisik hati Nurul.

Nurul lalu memeluk Zahra yang terbaring tak berdaya. Tak kuasa dia menyampaikan Hadist tentang tiga perkara yang tidak akan terputus sampai seseorang mati. Hadist itu yang dirasa sesuai untuk menjawab mimpi Zahra. Hadist tentang anak yang sholih-sholihah.

Kemudian, untuk menghibur Zahra, Nurul menerangkan tentang 3 ayat yang masing-masing punya pasangan, jika amal itu hanya dilakukan satu dan pasangannya tidak dilakukan, maka amal itu akan sia-sia dan tidak di terima oleh Allah.

1. Athi'ullah wa athi'ur Rosul (taat kepada Allah dan Rosulnya), jika seseorang hanya taat pada salah satu maka sia-sia.

2. Aqimus sholata wa atuz zakaah (dirikan sholat dan tunaikan zakat), jika seseorang cuma melakukan salah satu, maka sia-sia.

3. Anisykurliy wa liwalidayya (bersyukur kepada Allah dan kepada Orang tua) dua-duanya harus dilakukan, jadi rugi orang yang pandai bersyukur kepada Allah tapi tidak berbuat baik pada orang tua.

Zahra mendengarkan dengan seksama keterangan Nurul.

Nurul tidak bermaksud apa-apa, hanya mengalihkan perhatian Zahra agar tidak terlalu bersedih.


Previous: Part 11
Next: Part 13

Portal Ilham tidak akan bertanggungjawab di atas setiap komen yang diutarakan di laman sosial ini. Ianya adalah pandangan peribadi dari pemilik akaun dan ianya tiada kaitan dengan pihak Portal Ilham.

Portal Ilham berhak untuk memadamkan komen yang dirasakan kurang sesuai atau bersifat perkauman yang boleh mendatangkan salah faham atau perbalahan dari pembaca lain. Komen yang melanggar terma dan syarat yang ditetapkan juga akan dipadam.

Karya lain oleh Asfahul Muhib