Home Novelet Islamik Ketika Senja Berkata Cinta
Ketika Senja Berkata Cinta
Asfahul Muhib
7/4/2020 04:09:11
61,319
Kategori: Novelet
Genre: Islamik
Part 14

Di matanya, dunia begitu gelap. Takdir tuhan begitu kejam. Rasa kecewa karena pujaan hatinya menikah dengan orang lain belumlah hilang sepenuhnya, kini seorang yang dicintainya kembali meninggalkannya, untuk selama-lamanya.

Di atas dipan di dalam kamarnya, Zahra sedang menghayati nasibnya. Baru kemarin sore dia masuk rumah sakit karena kecewa, dan pagi ini harus keluar dari rumah sakit karena nestapa.

"Kapan aku merasakan bahagia?" Kalimat itu terlontar begitu saja, membuat sahabat karibnya yang tengah duduk didekatnya ikut bersedih merasakan kepiluannya.

"Sabarlah, Ra, jangan bertanya seperti itu! Kematian memang tidak pernah menandatangani surat perjanjian kapan ia akan datang. Kematian datang tanpa pernah bisa diundang. Tapi jika ia datang tak ada seorang pun yang mampu menghindar atau menundanya meski hanya sedetik saja.

Anggaplah ini suatu penguatan batinmu, saatnya kau membuktikan bahwa kau anak yang sholihah, yang senantiasa mendoakan kepada orang tuamu. Meski orang tuamu sudah di dalam kubur. Ikhlaskan, Ra, agar tenang ayahmu di alam kuburnya."

"Kenapa harus ayahku, Rul? kenapa takdir tidak memilih orang lain yang menjadi korban tabrak lari itu?" Zahra kembali meneteskan air mata, saat seperti inilah jiwanya begitu lemah. Nurul mengerti dengan hal itu, kemudian dia memeluknya, berusaha menguatkan jiwanya.

"Sekali lagi ikhlaskan, Ra. Dengan ikhlas kau juga akan tenang, jangan kau fikirkan bagaimana nasibmu, jangan kau fikirkan kesedihanmu. Sekarang fikirkanlah bagaimana kau akan mendo'akan ayahmu. Fikirkanlah bahwa kau masih punya aku. Fikirkanlah bahwa ayahmu menunggu-nunggu do'amu sebagai penerang kuburnya.

Fikirkanlah bahwa ibumu sudah berusaha mati-matian menguatkanmu dengan tidak memberitahumu ketika ayahmu kecelakaan, sekarang beliau sedang bersedih sama sepertimu, jangan kau tambah beban kesedihannya dengan kesedihanmu. Kasihanilah beliau, Ra."

Keduanya lalu diam, hening. Hanya air mata kedua gadis itu yang masih mengalir. Nurul sebenarnya ingin menghibur sahabatnya, tapi dengan apa? Haruskah Nurul menceritakan panjang lebar tentang arti ikhlas, tentang hikayat-hikayat orang yang ikhlas.

Haruskah dijelaskan kepada Zahra bahwa ikhlas itu punya kekuatan, terbukti dengan cerita Kiai Barseso yang kalah bertarung dengan Iblis karena ikhlasnya telah hilang, terbukti dengan cerita bahwa di zaman Nabi ada seorang perempuan yang disumpah suaminya, lalu dimasukkan ke bara api, tapi dia tidak terbakar dalam bara api itu karena ikhlas, terbukti dengan cerita perjuangan rakyat Indonesia dimasa penjajah, sungguh tidak logis kalau bambu runcing mampu mengalahkan senapan-senapan penjajah, Allahlah yang memberi kekuatan kepada para pejuang karena ikhlas.

Ikhlas itu karena Allah, ikhlas dengan keluarganya yang meninggal artinya ikhlas karena itu ketentuan Allah. Haruskah dia menjelaskan semua itu? tidak. Nurul menjawab sendiri dialog hatinya, cukuplah Nurul berdo'a semoga hati Zahra diberi keikhlasan.

***

"Sementara ini aku mungkin di rumah dulu, Rul, aku ingin menemani ibu, kasihan kalau ibu di rumah sendirian."

"Iya Ra, kau harus menguatkan Ibumu, dan kau sendiri juga harus kuat." Nurul mengangguk.

"Iya, Insyaallah, Rul. Oh iya kamu belum makan, kan? Ayo makan dulu."

"Ayo...." Nurul bersemangat sekali, memperlihatkan kalau dirinya lapar, dengan tujuan Idkholus Surur, agar Zahra merasa senang dan bahagia. Nurul faham kalau Zahra sedang mengamalkan sebuah hadist.

"Man yu'minu billahi wal yaumil akhiri, fal yukrim dhoifahu"

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia memuliakan tamu."

Zahra sekarang menjadi yatim. Untung saja, Zahra sudah Akil baligh, sudah dewasa, sudah bisa membedakan yang baik dan yang benar.

"Ah orang jawa selalu ada 'Untungnya' disetiap keadaan." Sambil berjalan mengekori Zahra, Nurul bergumam dan tersenyum sendiri teringat cerita Nabi. Lantas dia menceritakannya kepada Zahra.

Waktu itu, setelah selesai sholat Id Nabi berjalan pulang. Nabi begitu bahagia melihat anak-anak kecil yang bergembira karena hari raya. Anak-anak itu memakai pakaian yang bagus-bagus.

Sampai akhirnya Nabi Muhammad SAW melewati sebuah rumah, di depan rumah itu ada seorang anak dengan pakaian apa adanya terlihat murung dan termenung, lalu Rosulullah menghampirinya dan bertanya:

"Nak, kenapa kau tidak bergembira seperti teman-temanmu yang lain?" Anak kecil itu menoleh memandang wajah Nabi. Anak itu tidak sadar kalau didepannya itu adalah Rosulullah.

"Semua ini gara-gara Rosulullah yang keterlaluan." anak itu menjawab dengan spontan.

"Lo, keterlaluan kenapa?" Rosulullah menjawab dengan tersenyum.

"Rosulullah itu seenaknya sendiri, suka ngajak-ngajak perang, nah ayah saya ikut perang lalu wafat, saya jadi yatim."

"Nak, ayahmu sekarang sudah enak dan tenang di Roudhotul Jannah."

"Ayah enak, lha saya?"

Rosulullah tersenyum "Kamu kan ikut ibumu."

"Ibu sudah dinikahi orang lagi, sekarang ngurus suaminya terus."

"Berarti kamu kan punya ayah baru, punya ayah lagi."

"Ayah baru? Ayah sibuk ngurusi ibu, saya disia-siakan, semua ini gara-gara Rosulullah, Kanjeng Nabi benar-benar keterlaluan."

Rosulullah merasa kasihan meskipun anak itu bicaranya ceplos-ceplos. Sebagai pemimpin Rosulullah merasa bersalah, benar apa yang dikatakan anak kecil itu.

"Nak, bagaimana kalau kamu ikut aku, kamu aku jadikan anak."

Sejenak anak itu memperhatikan Nabi

"Orang ini tampan, wajahnya bersih, bajunya bagus, baunya harum, apa benar mau mengambilku sebagai anak?" bisiknya.

"Nanti Ibu Aisyah menjadi ibumu." Rosulullah berusaha membujuk.

Anak itu tetap diam dan belum faham bahwa yang di hadapannya adalah Rosulullah.

"Nanti Siti Fatimah jadi kakakmu."

Anak itu tetap diam dan tidak faham.

"Nanti Hasan dan Husein menjadi keponakanmu."

Mendengar Rosulullah menyebut nama Hasan dan Husein, anak ini mulai faham.

"Jadi Panjenengan ini, Rosulullah?" Tanya anak itu meyakinkan.

Rosulullah mengangguk.

"Ya Allah kanjeng Nabi, kenapa tidak bilang dari tadi, saya tadi terlanjur bicara tidak sopan." Anak itu menundukkan wajahnya.

"Tidak apa-apa, jadi mau atau tidak menjadi anakku?"

"Ya, Mau..."

Lalu Nabi mengajak anak itu pulang, sesampai di rumah, Rosulullah meminta Siti Fatimah, putri beliau yang diberi kelebihan tidak pernah mengalami haid sepanjang hidupnya oleh Allah untuk menjahit sebuah baju untuk anak kecil itu. Lalu anak itu diminta mandi dan membersihkan diri.

Setelah itu Rosulullah mengajaknya makan bersama, setelah selesai makan, ternyata anak ini masih belum puas, Rosulullah begitu maklum karena anak yatim ini mungkin jarang sekali makan makanan yang katanya enak itu.

Anak itu kemudian mengambil daging kambing yang besar dari atas meja, lalu membawanya keluar jalan-jalan menemui teman-temannya. Layaknya anak kecil, daging kambing itu di "kecap-kecap" dipamerkan kepada teman-temannya yang anak-anak orang-orang kaya.

"Kamu kok makan enak?" Salah seorang bocah bertanya.

"Iya, aku di angkat menjadi anak oleh Rosulullah."

"Kok bisa, bagaimana ceritanya?"

"Itu karena ayahku mati ketika berperang, Kanjeng Nabi lalu mengangkatku menjadi anak." Anak itu masih mengecap-ngecap daging kambingnya.

Karena teman-temannya merasa iri, dengan pongahnya mereka lalu sama-sama berdo'a "Ya Allah matikan bapakku ya Allah, agar aku di angkat anak oleh Rosulullah".

Zahra tersenyum menyimak cerita itu...

Previous: Part 13
Next: Part 15

Portal Ilham tidak akan bertanggungjawab di atas setiap komen yang diutarakan di laman sosial ini. Ianya adalah pandangan peribadi dari pemilik akaun dan ianya tiada kaitan dengan pihak Portal Ilham.

Portal Ilham berhak untuk memadamkan komen yang dirasakan kurang sesuai atau bersifat perkauman yang boleh mendatangkan salah faham atau perbalahan dari pembaca lain. Komen yang melanggar terma dan syarat yang ditetapkan juga akan dipadam.

Karya lain oleh Asfahul Muhib